"Mengapa Logam Mulia dalam Perut Bumi Uyelewun, haram untuk ditambang..?". Berikut, sebuah catatan reflektif..!!!

MENGERUK EMAS ATAU LOGAM MULIA DITANAH KEDANG, "SAMA HALNYA MEMPERKOSA MARTABAT SEORANG IBU”
        (Catatan Pinggir Aktivis Kampung)
                   Oleh: Emanuel Ubuq
Sejarah panjang pergerakan masyarakat adat Kedang di tahun 2007 hingga 2011, berangsur pupus dari ingatan.  Cerita tentang gerakan perlawanan masyarakat adat atas rencana Industri Tambang Lembata,  telah menjadi isu basi. Generasi milenial menyebutnya cerita jadul (jaman dulu). Namun penulis coba mengungkit kembali cerita ini, meskipun tidak sempurna. Penulis terpanggil untuk menceritakan seputar pergerakan kala itu. Semoga dapat membuat cerah cara pandang semua orang yang masih meyakini tentang adat-istiadat atau Kepercayaan Edang Wela dalam hubungan manusia dengan alam dan Kemuliaan Emas dalam perut bumi Edang. 
Penulis sekaligus pelaku pergerakan, mencoba menyimpulkan sekian banyak catatan perjalanan perjuangan selama masa pergerakan menolak rencana investasi tambang di Lembata.  Itu adalah proses belajar, mengamati, dan menghayati bentuk-bentuk ritual, makna dan konsekuensi dari ritual tersebut. Ianya bukan hipotesa semata namun secara empirik ada dan hidup.  

Pergerakan masyarakat adat Kedang semenjak 2007 hingga ke 2011, kemudian sukses mempengaruhi Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Lembata, dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Tata Ruang dan Wilayah Tahun 2011, yang pada dasarnya tidak memetakan atau meniadakan, adanya area-area tertentu yang potensial untuk Pertambangan. Artinya, area-area yang hari ini dikenal sebagai area potensi tambang, hanya bisa dibenarkan untuk kebutuhan pertanian dan perkebunan dan pariwisata. Tidak ada pemetaan khusus untuk kemudian menjadi area Tambang.  Dasar pemikiran yang sadar akan kehancuran alam ciptaan Tuhan dengan rusaknya ekologi, dampak limbah dan hilangnya hak hidup masyarakat adat, kemudian nyambung  
dengan penghayatan Kepercayaan Lama Edang Wela(adat istiadat), yang meyakini bahwa Emas dan logam mulia lainnya dalam perut bumi adalah wujud Ke-Ilahi-an yang berkuasa memberi kemurahan hidup atas makhluk dan alam sekitarnya.  

Semenjak berabad-abad lalu, komunitas adat Kedang sudah mengenal dan mengAgungkan Emas dalam perut buminya dengan ritual-ritual khusus menghormati kekeramatannya. Penghayatan tentang Kemuliaan Emas ( Ihin Weren Matan Mear) menjadi motivasi utama, kebangkitan masyarakat adat Kedang menolak rencana industri tambang kala itu. Setiap rumpun suku dan kampung secara sadar, bangkit mempertahankan nilai kepercayaan leluhurnya, dengan menggelar ritual-ritual adat dan bersatu menentang kebijakan Pemda Lembata.  Aksi-aksi penolakan digelar berjilid-jilid. Kampanye dan konsolidasi penyadaran tentang dampak resiko tambang giat digelar di mana-mana. Kegelisahan akan hancurnya hak hidupnya sendiri, mendorong masyarakat berani melawan rencana besar Pemerintah itu. Konsolidasi, dialog dan demonstrasi yang menguras tenaga dan energi, masif dilakukan.  Masyarakat adat Kedang, terpaksa menggelar ritual-ritual adat warisannya, untuk membentengi tanah adat dan turunan Edang.  Semua pengalaman ini, mengantar kita pada pertanyaan reflektif, “Mengapa emas (logam mulia) di Kedang tidak bisa dikeruk?”
Berikut jawaban pertanyaan di atas, sesuai penghayatan keyakinan lama Edang Wela, yang bisa Penulis  bagikan:

A. Definisi
1. Edang Wela
Dari hasil napak tilas adat-istiadat Kedang selama kurang lebih 15 tahun (2007-2022), penulis meyakini secara pasti, adanya sebuah Kepercayaan Lama (Agama Bumi), yang lazim disebut Agama Wela. Kepercayaan lama (Agama Bumi) ini, secara empirik pernah hidup di tanah Edang, Uyelewun.  Hakekatnya agama bumi ini, adalah satu-satunya kepercayaan pada peradaban tua, yang berkontribusi besar dalam menata kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Edang di zamannya. Orang Kedang pada umumnya menganut keyakinan ini, jauh sebelum masuknya agama Islam dan Katholik sekira tahun 1900-an.  Penganut-penganut agama bumi Edang Wela, hari ini bisa dinyatakan tidak ada lagi. Namun serpihan kepercayaan ini dan pengamalan ritual-ritual kepercayaan lama ini masih lestari dalam keseharian hidup sebagian besar masyarakat Kedang.  Tatanan adat istiadat yang menjadi ciri khas etnis Kedang hari ini seyogyanya merupakan sisa-sisa kepercayaan lama Edang Wela itu sendiri. 

2. Kedang
"Kedang" pada dasar berasal dari kata dasar "Edang" dari nama agama bumi Edang Wela.  Namun ada versi yang lain menafsirkan bahwa, kata Kedang itu berasal dari kata dasar Edang yang adalah nama sebuah alat musik tradisional khas di Kedang. Kemudian baru ditemukan sebuah nama tempat, sekitar puncak gunung Uyelewun, yang disebut 'Edang'. Dari temuan ini,  dapat disimpulkan bahwa, kata Kedang itu sendiri berasal dari kata 'Edang', yang merupakan nama situs Kepercayaan Edang wela awal mula. 
Nenek moyang pertama orang Kedang, diyakini tinggal di sekitar puncak gunung Uyelewun dengan membangun dua kampung yang dinamakan Leu Rian dan Leu Eho'.  Kemudian, seiring zaman berganti, turunannya berpindah-randah hingga membangun kampung disekeliling lereng gunung Uyelewun.  Dari temuan ini, kemudian diperkuat dengan istilah lama, "Leu Rian Leu Eho', Awu' Edang."  Nama ini mewakili identitas turunan Uyelewun, yang mana menjelaskan bahwa turunannya berasal dari satu Kampung(Leu Rian Leu Eho') dan hidup di tanah adat yang satu(Awu' Edang). Jika merujuk pada fakta ini, sesungguhnya kata Kedang itu sendiri, merupakan julukan identitas kaum yang menganut Kepercayaan lama(Edang Wela).

3. Uyelewun
Kata Uyelewun berasal dari kata Uyo Lewun (nama leluhur yang menurunkan suku bangsa Edang). Kemudian nama ini diabadikan menjadi nama satu-satunya gunung di tanah Kedang. Semua kampung adat dan rumpun suku asli Kedang mengakui berasal dari nenek moyang Uyo Lewun. Hal ini terbukti pada rantaian silsilah yang dapat ditarik ke atas hingga ke Uyo Lewun pada masing-masing kampung atau marga. Budaya tutur tentang silsilah yang panjang turun temurun ini, tetap menjadi kekhasan budaya lisan Kedang yang masih lestari sampai sekarang.

4. Leu Tuan
Kampung adat di Kedang adalah pusat ritual atau tempat diabadikan nama-nama leluhur dari generasi ke generasi. Terletak diatas bekas kampung yang dulu ditinggalkan di zaman nomaden. Kampung adat ini kemudian disebut sebagai Leu Tuan ( Kampung Leluhur). Di situs inilah Orang Kedang melakukan ritual dan upacara khusus sebagaimana kepercayaan lama Edang Wela. Semua Kampung adat (Leu Tuan) masih tetap ada hingga hari ini, meski kebanyakan tidak terurus atau dibiarkan terbengkalai.  Bagi kampung atau rumpun marga yang masih kuat meyakini Kepercayaan lama, Leu Tuan (Kampung adat) masih lestari karena kerap dilakukan ritual-ritual dan upacara adat lainnya.

5. Nari' Edang
Orang Kedang memiliki bahasa daerah khas bahasa Edang (Nari' Edang). Bahasa yang unik ini, didominasi bunyi samba dan tanda ghotal atau koma gantung (') yang terletak di tengah atau di akhir kata. Banyak sekali tekanan bunyi vokal khas, yang bisa mengandung arti berbeda pada awal kata maupun akhir kata.  Bahasa Edang, merupakan kategori bahasa yang sulit dipelajari oleh etnis lainnya. Demikian pernyataan suku Lamaholot, salah satu etnis yang bersama mendiami Pulau Lembata. Dari sebab itu, bahasa Edang kurang populer di Kabupaten Lembata ketimbang bahasa Lamaholot.

1. Ihin Weren
Emas atau logam mulia, dalam dialek Kedang disebut Ihin Weren Matan Mear.  Kepercayaan lama Edang Wela meyakini emas (Ihin Weren Matan Mear) itu sendiri merupakan wujud ke Ilahi-an dalam perut bumi, yang berkuasa memberikan kemurahan hidup pada semua makhluk di atas bumi. Dalam kepercayaan lama Kedang digelar dengan sebutan kemuliaan, Uhe Ara Niku Niwang.
Seturut tutur sejarah, Logam Mulia(Emas) di tanah Kedang, sudah terdeteksi pada zaman kolonial. Tutur lama ini, menjadi salah satu bukti, di mana Penguasa Kedang(Rian Bara'), pada zaman itu, tidak merestui harta karun tersebut diambil. Hal ini, tentu berkaitan dengan penghayatan akan keluhuran dan kemuliaannya sesuai kepercayaan lama(Edang Wela).

B. Tentang Agama Bumi Edang Wela
1. Wula loyo
Edang Wela meyakini adanya Sang Maha Pencipta yang disimbolkan atau diibaratkan Keagungan-Nya dalam rupa Matahari dan Bulan ( Wula Loyo). Gambaran Ketuhanan Yang Maha ini lazim dilafas sebagai Lia hura' Manu'sia, Popo' Libur Ate Di'en. Sosok Ke-Ilahi-an ini diyakini sebagai Pencipta atau yang menjadikan semua makhluk dan alam semesta.

2. Ero Awu'
Dalam hubungan dengan relasi Ke-Maha Penciptaan, Kepercayaan Edang Wela, meyakini adanya wujud KeIlahian yang ada di bumi ( Ero awu').  Kepercayaan lama Edang Wela, menempatkan 'Awu'/tanah', sebagai suci dan kudus. Ibarat seorang ibu yang menyusui dan menghidupkan anak-anaknya. Lazim dalam sebutan Kemuliaannya di namakan Ino Welin Tuan Tana.  Berkaitan dengan wujud Keluhuran ini, maka kepercayaan lama Edang Wela, mengabadikan pada setiap Pusat Ritual (Leu Tuan), ditakhtakan secara khusus dengan sebutan Awu' Puting Ero Maren(situs ke-martabat-an perempuan).  Kepercayaan Edang Wela, mengkultuskan tanah ibarat seorang Ibu yang menghidupkan. Atas dasar keyakinan ini maka Kepercayaan Edang Wela, sangat menghormati tanah dan melarang untuk dinodai oleh tingkah laku manusia yang tidak beradab.  Kepercayaan Edang Wela, melarang penganutnya untuk menodai tanah atau ibu itu sendiri dengan tidak boleh melakukan, Pertumpahan darah, maksiat, sumpah serapah dan dosa-dosa lainnya, di atas tanah tempat mencari hidupnya. Kepercayaan Edang Wela secara tegas dan keras, melarang bersengketa dengan tanah. Tanah Edang adalah ibu semua turunan Edang ( Puting kara hala' mulung, kara paheng nanga. Duli ria pali kedeng, mara ola ka pai' min, ka uda min doha, erung bore' tawe hae, nimon roho palan kare) dapat diartikan “Jangan mengklaim tanah ini milik mu sendiri, jangan melakukan dosa-dosa di atas nya, karena tanah ini ibu semua makhluk”.
Keyakinan tentang penguasaan lahan hidup (tanah) ini kemudian berubah sesuai perubahan tatanan peradaban di Kedang. Penghayatan kesucian tanah sebagai wujud martabat seorang ibu ini kemudian melahirkan keyakinan akan tinggi dan mulianya kedudukan dan marwah seorang perempuan Kedang.  Kepercayaan Edang Wela, mewajibkan setiap lelaki untuk menghormati seorang perempuan dan menjaga martabatnya sebagai mahkota seorang lelaki.  Kepercayaan Edang Wela, sangat mengharamkan perilaku jahat, kecenderungan seksual yang buruk terhadap seorang Perempuan.  Berkaitan dengan kemuliaan seorang ibu ini, kemudian muncul ajaran lainnya, mengharuskan untuk meninggikan harkat dan martabat kerabat seketurunan dari sang ibu (Ine Ame).

3. Wula Loyo Ero Awu'
Sebagian besar orang Kedang masih menghayati keluhuruan kepercayaan lama Edang Wela. Sudah menjadi sebutan wajib dalam setiap ritual-ritual adat Kedang, Wula Loyo Ero’ Awu. Sebutan Kemuliaan ini adalah gabungan dari kedua sosok Ke-Ilahi-an dalam Kepercayaan Edang Wela di atas.  Setiap orang Kedang atau penganut Kepercayaan Edang Wela, meyakini gambaran keMaha Penciptaan dan dan Maha Pemelihara dan Pemberi Kehidupan dengan Wula loyo Ero Awu'.

4. Uhe Ara Niku Niwang
Masih merupakan satu kesatuan dari kepercayaan Wula loyo Ero awu', kepercayaan Edang Wela, mengajarkan tentang kekuasaan ilahi di bawah bumi (di dalam perut bumi).  Wujud Ke-Ilahi-an ini, diyakini berkuasa memberikan kehidupan dan kemurahan, serta lebih dari itu merupakan tonggak bumi (kekuatan Ilahi) yang melindungi dan menyelamatkan. 
Wujud kekuatan Ilahi ini, diyakini bertahta dalam perut bumi. Mistik, suci dan penuh kemuliaan. Kepercayaan lama Edang Wela, menghormati dan mensakralkan kekuatan yang Maha ini, sebagai Uhe Ara Niku Niwang, Kepa Kire' Wahin Sara, Mule Eru' Ha'i Longo. Bentuk dan rupa dari wujud yang mulia ini, disebagai Emas/logam mulia, yang dalam Bahasa Kedang disebut Ihin Weren Matan Mear.
Penghormatan akan wujud yang mulia ini, diungkapkan melalui ritual-ritual khusus yang sifatnya wajib dan masih diamalkan oleh orang Kedang hari ini. 
Demi menjaga kesakralan dan kesucian Uhe Ara Niku Niwang, Kepercayaan Edang Wela, mengajarkan pantang larang kepada manusia yang hidup di atas bumi.  Mewajibkan setiap orang yang hidup di atas bumi untuk melakukan ritual kesyukuran, secara berkala sesuai kebutuhan.  Uhe Ara Niku Niwang, diyakini memilki kekuatan-kekuatan maha dasyat, yang bisa menghancurkan kehidupan manusia apabila terus melakukan dosa dan kehancuran atas alam/bumi itu sendiri. Terdapat sekian banyak ajaran dan hukum larangan Edang Wela dalam menata kehidupan antar manusia dan manusia dengan alam.  Ajaran-ajaran ini akan diulas di kesempatan berkutnya.  
Melalui tulisan sederhana ini, penulis fokus membahas pertanyaan publik yang "mungkin" masih mencari alasan, mengapa Emas atau logam mulia di dalam perut bumi Kedang, tidak dibenarkan untuk ditambang.

C. Mengapa Emas(Logam mulia) Pantang untuk dikeruk..?

1. Alasan dasar
Kebangkitan masyarakat adat Kedang, dalam gerakan menolak rencana investasi Tambang Lembata (2007-2011) mengajarkan pengalaman berharga buat generasi pencinta keluhuran warisan atau adat-istiadat.  Serpihan-serpihan budaya lama atau tradisi adat yang masih dijaga lestari dalam komunitas Kedang hari ini, merupakan bukti nyata bahwa terdapat sebuah tatanan peradaban lama yang berkontribusi luhur untuk kemaslahatan alam dan hidup manusia Kedang hari ini. Masyarakat Kedang meyakini akan kesucian tanah dan bumi, serta kemuliaan dan kekuatan logam mulia (Ihin weren matan mear) di dalam perut bumi, adalah tonggak kehidupan dan keselamatan manusia dan alam sekitarnya.
Gerakan yang dasyat perjuangan masyarakat dalam menolak rencana Investasi Tambang, dimotivasi oleh semangat untuk mempertahankan jati diri adat dan budaya luhur dan membela keluhuran adat-istiadat yang diwariskan dari leluhur berabad-abad sebelumnya. Masyarakat adat Kedang menghayati akan datang sebuah kehancuran atas hidupnya jika emas atau logam mulia (Ihin Weren Matan Mear) dikeruk dan diambil. Bisa dibayangkan kalau bencana pengerukan tambang itu ibarat memperkosa tanah yang dipandang sebagai ibu bumi dan menghancurkan logam mulia yang dimuliakan sebagai wujud kekuatan Ilahi dalam perut bumi Kedang. Secara refleks kekwatiran akan kehancuran ini, memaksa dilakukan ritual-ritual untuk membangunkan semua kekuatan ke Ilahian dalam Kepercayaan lama Edang Wela, dan dijadikan senjata mendukung perjuangan masyarakat adat itu sendiri. 
Perjalanan perjuangan yang panjang itu, membuahkan hasil. Rencana Tambang di Lembata, "ditolak" tanpa kompromi. Ritual-ritual membangunkan kesiagaan para penjaga alam (Mi'er renga) kemudian menunjukan bukti-bukti tulah yang menimpa para pelaku-pelaku yang berkianat atas keluhuran tanah tumpah darahnya.  Percaya, tidak percaya, kekuatan-kekuatan mistik yang diyakini oleh Orang Kedang, benar-benar terbukti keramat dan maha kuat. 
Berkaitan dengan alasan dasar ini, dapat disimpulkan bahwa, orang Kedang semenjak awal mula, telah meyakini bahwa, tanah adatnya adalah tanah yang terberkati

2. Alasan Ekologi
Setelah menganalisis nilai luhur yang diwariskan dalam kepercayaan lama Edang Wela, patut diakui secara jujur bahwa orang-orang zaman dulu, melalui keyakinannya telah menempatkan alam sekitarnya sebagai alam kehidupan yang wajib dijaga dan dilestarikan.  Kajian-kajian ekologi tentang dampak industri tambang, secara utuh ditemukan dalam doktrin keyakinan lama masyarakat adat Kedang.  Resiko-resiko yang akan dialami berupa dampak kehancuran ekologi adalah alasan berikutnya, mengapa rencana ini ditolak. Pulau Lembata yang cuman ukuran setitik debu dalam peta wilayah Indonesia, adalah pulau yang tidak layak untuk di tambang. Apalagi wilayah tanah adat Kedang, yang hanya secuil dari Pulau Lembata, dengan populasi penduduk di atas 50.000 jiwa, tentu akan sama seperti mengeruk di atas badan manusia. Artinya akan terjadi pergeseran nilai sosial, kehancuran lahan hidup, hilangnya kampung adat, dan terakhir akan ada pemaksaan untuk minggat dari tanah adatnya sendiri. Area-area calon tambang, yang menjadi sasaran sudah diklaim sebagai milik orang-perorangan. Di sana ada lahan, kebun dan pantai yang indah. Di sana ada kehidupan dan ekosistem laut. 

3. Kerusakan tatanan sosial
Tidak bisa disangkal kebenaran pendapat umum yang menyatakan bahwa sejarah yang ditulis/dituturkan pada hakekatnya condong memihak orang yang berkuasa atau berpengaruh. "Sejarah selalunya milik pihak berkuasa.".  Pendapat ini sudah menjadi rahasia publik dalam komunitas Kedang. Tradisi sejarah tutur dari generasi ke generasi yang tidak ditulis, memungkinkan kecenderungan pihak-pihak yang berpengaruh memanfaatkan kesempatan ini.  Tutur sejarah penguasaan ulayat misalnya, sangat riskan diplesetkan untuk kepentingan penguasaan tanah-tanah di Kedang, terutama area-area potensi tambang. Kepercayaan lama justru kemudian dipolitisasi dari generasi ke generasi.  
Untuk semua manusia kemudian dikukuhkan oleh Rian Bara Edang (Empayar Kalikur) dengan Sayin Bayan(aturan adat), Pai' Oyo' La' Oyo', Pa' Ma La' Ma, Ude' Nope Ude' La' Ne'e berlaku lebih dari dua abad. Sayin Bayan (aturan adat) ini menunjukan bahwa penguasaan tanah/ulayat di Kedang pada zaman Empayar bersifat kepemilikan bersama (komunal). Carut-marut politik setelah kemerdekaan kemudian berpengaruh pada peradaban Kedang kala itu. Seiring waktu berjalan, kemudian lahirlah Aturan-aturan Pokok Agraria. Aturan Negara ini, kemudian mendorong sebagian besar masyarakat Kedang, terutama kalangan rakyat jelata untuk memperjuangkan kesetaraan hak penguasaan. Adapun perlawanan rakyat jelata ini, dipicu oleh pemberlakuan hukum tangan besi, yang masih diterapkan oleh kaum feodal dibeberapa wilayah tanah adat Kedang. Perjuangan ini kemudian membuahkan hasil dengan digelarnya Mubesrata Kedang (Musyawarah Besar  Rakyat Semesta Kedang) Januari 1961.  Dari Mubesrata ini, lahirlah Sayin Bayan(Aturan adat) Penguasaan lahan/tanah yang dikenal dengan sebutan Sayin Tua' Teda' Bayan Wa' Miwa'. Dengan demikian area tanah adat yang dipersengketakan pada waktu itu, dan keseluruhan tanah adat Kedang berubah status penguasaan, dari penguasaan komunal menjadi penguasaan atas nama orang- perorangan. 
Kebijaksanaan para pendahulu di Kedang ini, kemudian sedikit-demi sedikit diplesetkan dan akhirnya terpolarisasi memihak pada kepentingan penguasaan atas nama pihak tertentu saja. Kondisi ini terbaca semakin masif berkenaan dengan rencana industri tambang Lembata dan potensi pembangunan lainnya. 
Penguasaan wilayah hidup yang pada hakekatnya disebut Duli wala/pali wala (tuan tanah) kemudian digeser dan dipolarisasi menjadi sebutan Uhe Wala yang bermakna Penguasa/Pemilik Emas (Ihin Weren) bukan penguasa/tuan tanah. Versi yang terpola demi pengalihan pemaknaan Emas/logam mulia yang adalah kemuliaan yang mistik dan suci dalam adat-istiadat Kedang dapat diklaim jadi milik/penguasaan pihak-pihak tertentu saja. Fenomena yang kemudian terjadi semenjak datangnya adanya Eksplorasi Tambang tahun 1980-an oleh PT NUSA LONTAR MAINING, hingga hari ini adalah marak terjadi klaim-klaim kepemilikan antar warga di area-area potensi tambang. 
Rencana tambang berpotensi untuk lahirnya modus perampasan lahan rakyat sekaligus konflik antar sesama orang Kedang sendiri.  Indikasi akan adanya konflik kepentingan di atas area potensi Tambang, menjadi alasan ke sekian, mengapa rencana tambang mesti ditolak. Bahwa cepat atau lambat, komunitas Kedang sendiri akan hancur akibat sengketa kepemilikan. Sejarah tutur yang pada mulanya luhur, kemudian dipolitisasi menjadi buas, seakan menerkam dan memangsa keturunan Kedang sendiri. Kondisi ini masih berlarut dan terus marak hingga saat ini. Perjuangan mulia untuk menuntut kesetaraan hak yang dulunya dengan susah payah dilakukan oleh para pendahulu, kemudian ternodai karena keserakahan pihak yang berkuasa dan para feodal. 

D. Kesimpulan dan catatan kritis
"Tambang Emas Di Kedang Mesti Ditolak."
Kekhasan luhur budaya dan adat-istiadat Kedang, merupakan ciri khas martabat dan jati diri orang Kedang. Ancaman penghancuran etnis dan budaya ini, adalah ancaman terbesar dan sedang getol digerakan oleh pihak-pihak Pemodal dan orang Kedang sendiri yang berkianat pada keluhuran peradaban etnisnya sendiri. Dapat dinyatakan bahwa, orang Kedang yang mengaku diri turunan Uyo Lewun sedang menyangkal identitasnya sendiri jika menginginkan tanah adatnya dirusak. Dengan kata lain, orang-Kedang yang sedang mengeruk ibu nya yang suci sesungguhnya bukan orang Kedang atau orang Kedang yang PALSU.
Untuk kelestarian nilai-nilai luhur budaya, Pemerintah Daerah semestinya melakukan upaya yang lebih dalam dan kongkrit untuk mengabadikan nilai-nilai budaya di Lembata. Bahwa masyarakat Lembata merupakan masyarakat yang menganut nilai-nilai budaya lama yang luhur untuk peradaban yang berkelanjutan. Dan nilai-nilai luhur ini, lebih jauh berharga ketimbang emas permata.
Keberlanjutan eksistensi masyarakat adat Kedang, hanya bisa bertahan untuk terus ada, jikalau masyarakat adat Kedang sendiri, menghayati dan menghidupi nilai-nilai luhur budaya warisannya. Sifat serakah atas harta karun yang mulia (Ihin Weren) sesungguhnya merupakan senjata pemusnah keberlanjutan hidup orang Kedang sendiri.  
"Mari, tetus berjuang untuk mempertahankan ibu bumi(Uhe Ara Niku Niwang)”

#Eman Ubuq#
Edisi ; Maret 2023














Komentar

Postingan populer dari blog ini

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....

PUISI TANPA JUDUL