💥💥💥SangPrabu💥💥💥
PERDANA
@alun-@lunBorobudur#
............ ........... ......... ........ ...... ...... ......
✍️Ruas-ruas buluh
Dendang murai menyambut pagi itu. Tak berselang lama perkutut pun asyik memuji fajar. Dan riuh makhluk membentuk paduan suara pagi. Rancuh namun indah.
Ujung malam telah ku pangkas di pukul 4;30 pagi. Perdana riwayat "standar perintah aturan".
Kilas napak ini, dari pelataran Borobudur. Menghitung mimpi di bawah singgahsana Mahabrata. Sementara prabu-prabu kusam sedang bergegas. Tapak kaki meremukan buluh dan bambu tua. Derapnya mendatangkan bunyi riuh. Buluh-buluh terinjak. Remuk ruas demi ruas. Dan prabuku seringai angkuh. Waktunya untuk meluluhkan ruas-ruas buluh. Karena kami adalah Prabu. "Ini perintah aturan."
Gerah kemarau tak lagi jadi aral. Desau nafas pemburu titah. Armida dan pelana empuk. Hasrat yang menggebu mencoreng paras-paras lugu.
Wah, ternyata cuman rumpun bambu kecil yang gatal bulu-bulunya. iyaa, namanya buluh. Bahan baku alami bagi pengrajin Madura untuk membuat alat pencucuk gigi.
Istana ini terisi penghuni semu. Antik dan keramat karakter kulit arinya, sementara isinya cuman metamorfosa ulat buluh menuju sempurna jadi kupu-kupu. Nyesal...? Payah dan peluh meleleh. Nyaris hanyut dan remuk di dada samudera. Cuman itu..? Yaaah..cuma itu doang..!
Cuman gemercik telaga di taman kota. Sementara seonggok buluh rimbun paksa di tepian. Daunnya rontok di mamah kerontang musim. Jika berkenan, cukup sejengkal buat bingkisan pulang. Raut dan urik sendiri. Cukup buat alat pencungkil gigi. Sementara ruas-ruasnya biar remuk dan terbuang.
✍️Bebatuan rasa
Si botak tua bergegas ragu. Lunglai jalan juang melebarkan minda. Apakah ini hanya mimpii..? Kemarin dipelataran istana sultan. Arca-arca tangguh dilingkari tarian mancur air gemerlap. Rupanya patung kepala singa yang sedang pamer taring perkasanya.
Di pintu kraton si botak tua tertegun. Senyum manis bidadari lugu. Tulus dan sangat manis. Jatung berdegub rancuh. Irisan rasa mirip nano-nano. "Selamat datang pak".. Suara gerangan mana..? Ohhh..rupanya bidadari itu cuman sebuah arca batu kapur yang disulap pengrajin Jepara. Kembali cebis perih nurani terasa. Ahhhh..biarin aja. Telapak mulus mengulur sopan. "Silahkan pak!". Aura kemewahan. Agung dan elitis. Dunia baru ibarat angan para pujangga. "Ohh..di sini aku akan di kandang beberapa hari ke depan. Hatiku kecut. Aku krisis percaya diri. Memang aku tidak pantas di sini. Aku malu pada semerbak mawar sepanjang trotoar bata. Taman ini di kemas apik. Semata untuk tahta sejenak para abdi.
Lapisan nurani gundah, bertarung dengan waktu. Seandainya Arya Kamandanu masih ada, aku memilih meminyaki kakinya dengan lulur teratai dan pucuk maja di sekeliling alun-alun Borobudur. Atau ku bisa hanya menyusun marmer kuno yang terserak..? Atau aku hanya bisa mengagumi arca purba yang bagian kepalanya telah raib jadi siluman. Dan bebatuan rasa, tertumpuk di kaki pura. Borobudur mengajar ku nilai dari yoga bathin yang belum bisa ku pahami.
✍️Senja yang pulang.
Jemari yang berpautan membawa rasa ini mengalun tak menentu. Nyanyian senja seiring risih kresek pemulung di batas- batas jalan kota Batavia. Sesekali jiwa perangah. Deru mesin pesawat yang datang dan pergi seolah menghujam kalbu yang keropos. Tak ada yang peduli sedikitpun. Manusia berasak-asak merebut segumpal nasi. Biar bisa hidup hari ini. Anak-anak kecil bergulat dengan waktu. Hendak menyatakan, ini kampungku. Negeri yang menyimpan hikayat sang brahma. Laut yang mengarang pesona ratu selatan. Iya..ini Batavia.
"Hallo....", tangan manis itu memilin jemariku. Hendak menghentakan asa nya. Kelopaknya bersinar bak mawar dan bibir nipis itu, seindah teratai di taman trotoar bandara. Aku melihat ke dalam tatapannya. Bulir-bulir jernih mecuat keluar. Kelopak itu basah. Ada yang tertahan dalam dada. Sesak dan tersedak. Ahhhh... Mawar ku, sahabat mimpi. Ia membungkus luka yang tersulam dengan uratan ceria. Mekar senja, ibarat teratai yang menghias selokan taman kota. Sebentar saja senja akan pulang...
Senja ini akan pulang. Akan kembali esok dengan rupa fajar. Selanjutnya tubuh terbakar teriknya. Begitu mahalnya senja. Hanya bisa di daki asa, dan hakekatnya cuma rasa... Ya ..rasa kita.
✍️mitos-mitos kayangan
Jejeran wadah bening berisi air jenih. Tersusun rapi di setiap meja bundar. Kumpulan kelelawar kesiangan berbaris anggun. Sayapnya terkatup dibalik mantel malam yang tak sempat diganti.
Alumni abdi Kraton mengasah hikayat Empu Gandring. Kali ini sayap kebebasan terbentang. Hendak memeluk arca-arca bisu. "Andaikan arca-arca ini bisa bicara, tentu tak ada lagi mitos hari.ini", suara serak memecah keheningan. Sosok angkuh itu mematung di singgasana. Di balik podium, potret sekian ramai kata dan huruf-huruf. Mata para penikmat melototi papan berwarna itu. Antara bingung dan terpaksa. Yaah, cuman mitos kayangan.
Gejolak rasa menghantui kenyataan. Cerita apa yang hendak dibawa pulang..? Hanya mitos yang diulang sejak lahirku. Cerita kakek menghantar tidur masa bocah ku. Ahhh...anak-anakku pun bisa. Iya..bisa..! Itu lazim cerita penghantar tidur masa kecil. Ibunya punya cara unik buat mereka terlena. Kali ini, ceritanya masih sama. Di sini...! Di dalam gua perunggu para adipati.
✍️Fajar yang menangis
Ilalang merintih pasrah. Seantero wajah pulau terbakar. Puing-puing rerumput menanti gerimis. Semilir menyapu abu dan arang. Menghambur jauh ke pantai dan laut. Mengapa tangan dan nurani mu semakin liar..?
Api cemburu merambah belukar rasa. Anak-anak menonton para aktor kampung yang telanjang. Auratnya bukan taruhan lagi. Murah meriah di sudut pasar rakyat. Yaa.. kuda tunggangan muda perkasa. Pelananya diukir dari permaidani dengki. Busa mulutnya amisss, aroma rerumputan kering dan lalap jagung peninggalan para rayap. Kuda tunggangan perkasa. Pahlawan yang kesiangan.
Fajar merintih dan meram tatapnya. Sekali amarah meluap, matanya menghambur terik. Dan pulauku terkapar. Jatuh, remuk diinjak kesombongan dan iri hati.
Mengapa kau muntahkan generasi munafik ini..? Sementara usiamu menuju perkasa. Faktanya, cuma buly dan cemooh. Pulau adat yang terluka. Refleksi yang terlambat...!
Dari pelataran Borobudur, senja yang pulang, bebatuan rasa, fajar yang menangis, ruas-ruas buluh, mitos-mitos kayangan.
Yogyakarta, 9 Oktober 2024
@@@@@UbuQ@@@@@@@
Komentar