#cek ombak pantai selatan#

Memulai dengan petikan pikiran Socrates.  Ahli pikir ini mengatakan;  "Kehidupan tanpa refleksi tidak layak untuk dijalani".

Pragmatisme politik kekuasaan, merambah, merambat dan malahan tanpa disadari menggerus peradaban demokrasi ke titik nadir.  Polemik sengketa hasil Pilpres 2024, telah menjadi sajian terbuka, yang mengumbar kerakusan berpikir tanpa batas.  Dengan demikian rakyat jelata(penulis) turut serta mengetahui, mendalami, dan menyimpulkan.  Seperti apa dan mengapa, nilai norma dan etika diacak-acak bak kotak dadu para penjudi. 

Aku tersadar, rupanya polemik ini tak berawal dan berakhir di Mahkamah Konstitusi saja, namun merambah setiap sendi perhelatan yang nuansanya merebut/menginginkan kekuasaan politik.  Ternyata feomena kerapuhan moral dan etika dalam perpolitikan Indonesia, lestari dan tumbuh seiring waktu, dari pusat hingga daerah dan sampai ke desa-desa.

Perdebatan tanpa penghujung tentang politik dinasti dan dinasti politik merupakan dua sisi yang mirip.  Semuanya dipicu oleh keinginan berkuasa dan menguasai. Banyak pihak tentu menyadari akan datang fenomena ini(dinasti) namun diam-diam melangengkan. Ada Partai politik yang dibentuk dan dikuasai oleh kroni dan kerabat sendiri.  Ikutannya kemudian tentu orang-orang terdekat dan kerabat yang jadi kader unggulan. Adapun kesempatan dimana pemangku kekuasaan politik menggunakan popularitas dan kepercayaan elektoral akan pencapaiannya dalam mengurus kepentingan rakyat kecil, sebagai takaran untuk melanjutkan estafet kekuasaan.  Dan apa kesimpulannya..?  Ternyata ada kekosongan dalam membentuk regulasi-regulasi tentang Partai Politik dan kePemiluan.  Itu kesimpulan klasik. Hakekatnya ruang kosong regulasi ini, sengaja dibiarkan lestari dan tergantung pada siapa nanti berpeluang "memanfaatkan"nya.  Menyadari bahwa istilah "dinasti politik dan politik dinasti" justru adalah kekeliruan kolektif, kemudian dilahirkan istilah konflik kepentingan(conflict of interest). 

Benar kata Socrates, "Kehidupan tanpa refleksi tidak layak dijalani"
Menjelang suksesi Pilkada 2024, Lembata justru sangat hangat dengan issu-issu yang tidak kalah saing dengan issu Dinasti. Catatan harianku, menceritakan banyak sekali, issu-issu kurang produktif, yang dimanfaatkan sebagai aset propaganda elektoral.  Sebut saja issu etnis, golongan dan oligarki, diantara issu paling populer di Lembata hari ini.  Berseliweran di medsos dan dalam propaganda terbuka di dunia nyata. Kader-kader pemimpin masa depan Lembata cenderung melakukan kajian dan analisis timpang.  Membangun sentimen sukuisme, dan propaganda status kemiskinan semata untuk impian kekuasaan dan/atau menguasai.  

Mungkin kali ini, waktu yang tepat untuk refleksi.  Memang kehidupan tanpa refleksi tidak layak untuk dijalani. Ianya justru melahirkan kembali karakter kecemburuan sosial, saling sangsi antar suku, dan bisa saja kembalinya dosa-dosa politik zaman feodalisme dan borjuis.  Masih adakah yang peduli untuk mendiskusikan pikiran-pikiran cerdas dan edukasi politik yang sifatnya untuk kemaslahatan..? Walahualam.... 
Beberapa Praktisi politik dan pemikir-pemikir lokal Lembata, cenderung mengarahkan cara pikir masyarakat tentang orang mana, dari suku/etnis apa, dan apakah kita satu suku atau satu dialek dan turunan. Adapun pandangan yang menyudutkan figur dan kaum minoritas yang punya Modal besar karena mampu membayar kursi-kursi partai dan tuntutan biaya suksesi lainnya. Sementara seiring dengan itu, mengharapkan ada partai politik yang mengakomodir figur-figur lokal dengan pertimbangan basis elektoral, meskipun tidak punya apa-apa(tidak mampu menanggung biaya).  Pandangan ini berbuntut pada melabelkan partai politik sebagai sarana politik untuk meraup Uang semata. Namun dibalik itu berpaut pada sponsor atau pemodal yang mensuport dana suksesinya dengan perhitungan kepentingan tertentu. Lagi-lagi rakyat dikibuli.😁😁

Kongkritnya bahwa, tradisi Partai politik dengan merekrut calon pemimpin di semua tingkatan memang butuh kost politik. Bayangkan saja untuk setingkat DPRD Kabupaten saja, setiap calon bisa menghabiskan biaya hingga ratusan juta. Apalagi untuk biaya suksesi  Pilkada..? Memang untuk menjadi calon bupati maupun wakil bupati, tidak harus orang kaya. Bisa saja datang dari orang yang kurang Modal(bukan miskin). Semuanya tetap saja punya konsekwensi biaya yang sama.  Tradisi internal partai dalam mengseleksi bakal calonnya tentu tidak sama.  Pada intinya partai politik hendak menawarkan kandidat yang potensial dan mampu berpihak pada kepentingan hajat hidup rakyat. Selanjutnya rakyatlah yang menentukan pilihannya.  Apakah lebih baik memilih orang baik dan mendengarkan rakyat, atau memilih karena pertimbangan satu suku atau golongan..? Atau tidak memilih calon tertentu karena datang dari keluarga bermodal..?
Refleksi ini menemukan satu pandangan kritis demikian. " Bahwa adalah patut jika seseorang yang punya kesiapan modal yang cukup hendak menunjukan kerendahan hatinya untuk mengurus banyak orang. Tetapi sungguh sikap yang tidak terpuji, jika memanfaatkan issu kemiskinan/ketidakmampuan ekonomi untuk menggalang simpati sesamanya demi sebuah kekuasaan politik . Ianya sama dengan melampiaskan kecemburuan sosial akan strata hidup berdasarkan uang dan harta kekayaan ."  Apa bedanya seorang kaya yang sombong dan seorang miskin yang hatinya tidak dipenuhi rasa syukur..? Keduanya sama besar aibnya.
Menanggapi propaganda primodialisme yang sudah lama mengakar di Lembata, perlu diputar kembali kisaran kehidupan politik kepada pengalaman kepemimpinan Lembata sebelumnya. Praktek sukuisme dan sistim kroni, telah jadi tradisi kekuasaan sejak adanya otonomi daerah. Pemimpin yang terpilih cenderung mengutamakan kroni, kerabat dan pendukungnya dan tidak disadari sedang menganaktirikan yang lainnya. Praktek bagi-bagi jabatan dan kepentingan peluang kemapanan lainnya diutamakan untuk kalangan pendukungnya dan kroni adalah fakta yang sulit dibantah. 
Stigma-stigma negativ yang lahir dari niatan politisir kerakusan akan kuasa dan jabatan, menambah buram wajah poliik Lembata.  Lahir stigma tertentu yang menyudutkan untuk membangkitkan sentimen sukuisme, merupakan stigma lapuk dan tidak produktif dalam membangun kedewasaan berdemokrasi di Lembata. Politisi yang gemar memanfaatkan issu provokatif justru siluman dari politisi Ulat Bulu.  Issu-issu seperti ini, semestinya tidak pantas dijadikan modal propaganda dan tidak perlu ditanggapi, karena tidak berkwalitas untuk kedewasaan politik kolektif Lembata yang hendak membangun pulau ini menjadi lebih baik dan sejahtera.  Siapapun yang diberi mandat memimpin Lembata, mestinya memilki jiwa mengayomi dan mencintai seluruh masyarakat Lembata. Justru pihak-pihak yang berkonsolidasi, terkhusus calon-calon yang menfaatkan issu-issu kerdil diatas sebagai aset menggalang dukungan elektoral, dapat dicurigai sebagai calon pemimpin yang sedang memanfaatkan kekuasaan politik sebagai mata pencaharian. Dengan kata lain, karena haus kuasa dan haus harta(miskin) maka menggunakan issu suku dan ras sebagai aset propaganda politiknya.  Demikian Kahlil Gibran mengatakan, "Orang yang menjadikan politik sebagai mata pencaharian adalah orang yang merusak masa depan bangsanya."

Sebagai penutup dari artikel ini, baiknya kita refleksikan kembali, setiap tahapan dinamika politik, perhelatan suksesi, dan setiap kenyataan yang kita alami, sebagai konsekwensi dari pilihan politik kita pada masa-masa sebelumnya. Apakah rakyat Lembata hendak terus terjebak dalam lingkaran berpikir sempit(primodialisme dan fundamentalis etnis dan strata ekonomi)..?  Masih ada waktu untuk berbenah. Mulai dari cara pikir tentang Lembata dalam bingkai satu-kesatuan sebagai tanggungjawab bersama dan konsep-konsep politik yang mampu mewakili posisi tawar rakyat banyak, yang mampu mengontrol pemimpinnya agar setia pada janji politiknya dan sanggup menjadi bagian dari ekstraparlementer yang menyumbangkan ide-ide pembangunan, demi kemaslahatan berkelanjutan. 
#jangan terprovokasi dengan issu-issu pecah belah#
#jangan buang waktu mendengarkan dan melayani pihak-pihak yang memanfaatkan issu-issu kerdil untuk menagih simpatimu#
# Mari membangun Lembata dalam bingkai Bonum Comune#
            
                Edisi : Juli 2024
             #Politisi Kampung#





















Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....