MENGENANG 60 TAHUN, SAYIN TUA' TEDA' BAYAN WA' MIWA'..(Musyawarah Besar Rakyat Semesta Kedang/ MUBESRATA Kedang; Leu wayan, Januari 1961) *catatan pinggir pejuang sendal jepit*

Komunitas adat Kedang, merupakan salah satu di antara ratusan etnis kecil di Indonesia.  Hidup dalam budaya egaliter, komunitas ini mendiami wilayah tanah adat Kedang, di sebelah timur Pulau Lembata.  Kampung pemukimannya terletak berjejer melingkari gunung Uyelewun.  
Nama gunung Uyelewun sendiri, disadur dari nama Leluhur Uyo Lewun yang menurunkan komunitas asli Kedang.  Nama sebenarnya Uyo Lewun, dilahirkan oleh Lewun Kame, dengan saudara-saudaranya antara lain; Beha' Lewun, Eye' Lewun, Gaya Lewun, Tanah Lewun, Au Lewun, Oka Lewun. Tentang saudara-saudara Uyelewun ini, ada beberapa versi tutur yang mengakui lebih banyak dari itu.
Banyak sekali tutur-tutur lama yang menggambarkan kehidupan purba, yang kemudian baru diketahui melalui ritus-ritus dan ritual serta praktek peradaban komunitasnya.  Tutur- tutur sejarah maupun legenda lama, hampir semuanya tidak tertulis sehingga tidak mudah untuk melakukan penelitian ataupun napaktilas yang mendalam dan terukur.  Kendati demikian, ada bukti-bukti empirik yang dapat diandalkan yakni, kesamaan sejarah tutur dari setiap rumpun kampung.  Pautan dengan tutur sejarah, adapun praktek ritus maupun ritual, sebagaimana keyakinan Lamanya yang mirip dan sama, dari setiap kampung tradisional.

* Keyakinan Lama atau agama bumi
Etnis Kedang(Edang), memiliki keyakinan lama atau agama bumi. Agama bumi yang hari ini serpihan prakteknya, disebut adat istiadat dan budaya Kedang.  Seiring dengan tergerusnya nilai dari zaman ke zaman, penghayatan akan karisma  dan keramatnya masih ditemukan hingga hari ini. 
 Keyakinan lama Kedang pada awalnya dikenal sebagai keyakinan Edang Wela.  Tidak dapat dipungkiri, Keyakinan Edang Wela kian zaman, cenderung terkikis kedaulatannya, terutama, doktrin tentang kuasa penguasaan wilayah hidup secara komunal atau dalam istilah lama disebut Duli Ria Pali Kedeng. Rei' te ola a pai' tin, a tamal tin wei, toto' wange duhu a'ang.  

* Hakekat penguasaan tanah adat secara Komunal. 
Dalam keyakinan lama Kedang, melarang setiap manusia Kedang untuk mendeklarasikan kepemilikan atas tanah secara pribadi. Sebagai sebuah komunitas adat, keyakinan Lama Kedang, sebagaimana disimak dalam upacara dan ritualnya, mengajarkan nilai kesucian dari tanah/bumi. Ianya karunia sang maha Kuasa, dan tudak dibenarkan jika dijadikan alasan sengketa karena saling klaim. Manusia hanya diberi hak untuk memanfaatkan segala sumber alamnya untuk kehidupannya. Doktrin mengenai hal tersebut, dikenal dengan larangan, puting kara hala' mulung, puting kara paheng Nanga. Awu' more naya, ero nore oli'.(dilarang mendeklarasikan tapal batas atas tanah. Tanah/bumi adalah suci dan keramat). Manusia dituntut untuk menghargai bumi dan alam ciptaan, sebagaimana menghargai diri sendiri. 

* Legenda dan kisah peradaban lama. 
Sebagaimana halnya komunitas adat lainnya di Indonesia, komunitas awal mula Kedang pun mengamalkan hidup pindah-randah(nomad). Lebih kurang 20 lapis generasi yang lalu, sebagaimana tutur temutur sejarah lama,  ditemukan kisah keperkasaan dan ketangguhan leluhur dalam mendapatkan, merebut dan menguasai wilayah hidup atau disebut Duli Pali). Beberapa tutur sejarah yang cukup terkenal antara lain, sejarah Parang Uma dari Leuwayan, sejarah Ope Keto' dari Walang napo', sejarah Benimau dari Lewodawan Kobar, sejarah Beni hitong, dari Leu Hapu, sejarah Hide Tawang dari Wa' Kio dan sejarah Kia Rian Moi Lating dari Wa' Lupang, dan banyak lagi tutur sejarah lalu dari kampung lainnya. Yang terpenting untuk dicatat adalah, masa Nomaden merupakan masa dimana berlakunya hukum Rimba. Menyimak kisah para orang perkasa masa lalu ini, baru disadari bahwa di era kisah tersebut, telah terjadi pergeseran penghayatan dan ketaatan pada keyakinan lama, Edang Wela. 
Jika diamati secara mendalam, kalau dari semua pendekar Penguasa wilayah hidup di atas merupakan saudara dekat. Petarung -petarung yang melegenda ini, hakekatnya merupakan  saudara seturunan Uyo Lewun, yang saling merebut dan menguasai. Waktu terus berlalu. Zaman pun berganti zaman. Meskipun tercerai-berai suatu ketika dulu namun Komunitas adat Kedang tetap harmoni dan beradat hingga hari ini. Orang Kedang dari zaman ke zaman, memiliki kearifan-kearifan bernilai luhur.  Dalam mengakhiri setiap sengketa maupun perang saudara, orang Kedang disetiap zamannya, meletakan peraturan dan perjanjian damai, yang dikenal dengan Sayin Bayan. 

* Zaman Nomaden dan praktek hukum Rimba.
Sejarah -sejarah tutur tentang perang dan sengketa perebutan kuasa atas Duli Pali di atas, memang tidak untuk semua sejarah tutur penguasaan wilayah hidup atau Duli. Adapun tutur sejarah Penguasaan yang menuturkan perolehan penguasaan yang terjadi karena alasan lainnya. Misalnya, tutur sejarah Hiba raba Ribi Raba, Bunga Hide Mau Bara, Kote Kai Leto Beni, Peu Uma, Peu Ara Wei laleng, Benihading dan sejarah nomaden lainnya. 
Peradaban Nomaden yang penuh dengan kisah sengketa perebutan dan klaim penguasaan lainnya, kemudian melahirkan istilah 'ang Ba'a ular doro, nanga atur wa' ledur. Istilah ini mengibaratkan bentuk dan luas wilayah penguasaan, yang berkelok-kelok atau berliku-liku.  Penamaan batas dan tapal_tapalnya, diduga terjadi saat berburu. Dimana tempat berteduh dan istirahat, disitu ianya diberi nama.  Bentuknya yang tidak lurus dan berkelok ibarat burung terbang di udara dan ular yang melata di tanah.  Dalam istilah lama disebut, Ang Ba'a ote eleng, ular doro ole awu').
Klaim penguasaan wilayah hidup versi Nomaden ini, kemudian masih digunakan hari ini, oleh kalangan kampung/rumpun tertentu, untuk mengaktualisasi hak penguasaan atas tanah Ulayat. Meski demikian, zamannya sudah berlalu, meski sejarah pun tetap menjadi sejarah. Apapun faktual dan kongkritnya sebuah sejarah zaman Nomaden,  tetap saja ianya terjadi atas praktek hukum Rimba.  Siapa kuat dia berkuasa. 
Demikianlah  Komunitas Kedang, dalam setiap era dan zaman, mewariskan fakta tutur perubahan tatanan peradabannya sendiri. Kisah para leluhur yang melegenda karena keberanian dan kekuatannya berperang, menjadi catatan khusus bagi generasi, bahwa kita sebenarnya serahim-sedarah. Tidak ada waktu lagi untuk mengulangi kisah yang sama.  Mestinya tutur sejarah di zaman Nomaden tetap saja menjadi sejarah, untuk mengenang dan menghormati para pendahulu, sebagai pendahulu yang telah mewariskan banyak sekali kearifannya. 

* Doktrinisasi Penguasaan komunal zaman Nomaden. 
Menurut doktrin keyakinan lama, penguasaan wilayah hidup secara keseluruhan atau tanah adat Kedang seutuhnya dikuasai secara komunal oleh komunitas adatnya pada mulanya.  Dengan kata lain, satu etnis satu tanah adat.  Di era Nomaden terjadi pergeseran pemaknaan dan praktek penguasaan, ala hukum Rimba/siapa kuat dia berkuasa.  Dinamika peradaban nomaden ini dikenal hingga hari ini melalui praktek-praktek ritual keyakinan lama Kedang. ********"

Dapat ditemukan dalam pengamalan ritual-ritual keyakinan lama, para pemangku kuasa atas wilayah hidup versi Nomaden diberi hak istimewa sebagai pemula di atas wilayah tersebut. Hak istimewa tersebut dapat berupa penghargaan untuk memperoleh bagian khusus dari hasil perburuan atau melaut. Adapun bagian hak lainnya adalah, hak mendapatkan jatah khusus dari sesajian ritual tertentu(wutu' Ale ere Patang ruha nangi).
Penguasaan secara komunal versi Nomaden ditengarai baru bergeser atau berubah pada zaman kolonial.  Pengertian pergeseran yang terjadi di zaman kolonial, justru mengembalikan nilai penghayatan akan kesucian dan kesakralan bumi, kembali sebagaimana doktrin keyakinan lama Kedang(awu' nore naya ero nore oli', rei' te Ola a pai' tin, Tomo oyo' nangi' oyo', la' oyo' pai' oyo', la' ma pai' ma).  Di zaman kolonial, dengan berdirinya empayar Swapraja/Kapitan Kedang, seluruh tanah adat Kedang dibawah kekuasaannya.

* Klaim penguasaan paska empayar Kapitan Kedang(Rian Bara')
Meski ada klaim-klaim penguasaan dari masa ke masa, Komunitas Kedang pada awal mula nya, hingga hari ini, tetap merupakan satu-kesatuan dari asal turunan yang satu dan sama.  Dengan mengamalkan keyakinan Wela ( keyakinan lama) tentunya menjadi acuan kehidupan awal mula, yang masih berpengaruh dan mengatur perbedaan kepentingan dan peradaban hingga hari ini.
 Pergeseran peradaban dalam tatanan kehidupan komunitas, yang berkaitan dengan klaim Penguasaan wilayah hidup, secara variatif tercatat dari tutur-tutur sejarah, terus ditularkan hingga generasi hari ini.  Setiap era, memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. 
Hak penguasaan zaman pindah-randah/nomaden(dorong dope') kemudian harus tunduk di bawah penguasaan Rian Bara'(Kapitan Kedang.) Kendati demikian adapun wilayah tertentu yang tetap mempertahankan hak penguasaan sebelumnya, lewat penghargaan ketika ritual - ritual keyakinan lama yang dilakukan. Ada wilayah tertentu yang tetap menerapkan hak penguasaannya secara bijaksana sebagaimana doktrin keyakinan lama. Terbaca wilayah-wilayah ini, adalah wilayah yang dikuasai tidak dengan perebutan atau sengketa di zaman Nomaden. 
Demi kedamaian komunitas Kedang seutuhnya, kearfan Rian Bara'(Kapitan Kedang) menerapkan Sayin bayan(peraturan adat) Pai' oyo' la' oyo', pai' ma la' ma. Tomo oyo' nangi' oyo', Tomo ma nangi' ma(Hak penguasaan bersama atau hak komunal.) Kebijaksanaan ini, berlaku hingga era Kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Pada era sebelumnya, semua orang Kedang di kampung dan rumpun, mengolah tanah dan tidak dijadikan milik pribadi. Datang waktunya, lahan itu dilepas jadi hutan maka orang lain bebas mengolahnya kembali. 

* Perhelatan hak penguasaan tanah paska Kemerdekaan Republik Indonesia 1945
Riak-riak kebangkitan masyarakat adat, kian terasa di awal-awal tahun paska Kemerdekaan. Berikutan dengan eforia terbebas dari penjajahan, masyarakat Kedang pun, turut merasakan masa-masa awal kelepasan dari kuasa Kapitan Kedang. Masing-masing zona penguasaan wilayah hidup(Duli) versi Nomaden pun, turut memanfaatkan situasi ini. Dengan berakhirnya era Kapitan Kedang, kalangan yang dulunya pudar pengaruhnya, kembali secara perlahan mengaktualisasi hak penguasaannya. Kali ini, tidak saja, hak penghargaan pada bagian-bagian ritual(ere Patang ruha nangi) tetapi merambat hingga kuasa memberi dan membagi-bagi lahan tanah. Masyarakat Kedang yang masih jauh tertinggal secara sumberdaya manusia dan politik di era ini, berjuang mendapatkan hak-hak atas tanah, dengan caranya sendiri-sendiri. Ada rumpun dan kampung tertentu, menerapkan kebijaksanaan pembagian dan penguasaan dengan mengedepankan keluhuran keyakinan lama(adat-tradisi).  Tetapi ada juga rumpun dan kampung yang mengaktualisasi penguasaannya secara the facto, sebagaimana kisah era Nomaden dan hukum Rimba. 
Bersamaan dengan carut-marut klaim mengklaim di atas, kekuasaan feodal Kapitan Kedang lewat kerabat-kerabatnya, turut berusaha mengembalikan eksistensinya. Area-area strategis di beberapa wilayah Kedang jatuh dalam penguasaan kerabat-kerabat Kapitan Kedang. Hampir semua lahan strategis dan potensial yang dikuasai kerabat-kerabat Kapitan, merupakan Obong Hora atau bekas area yang diolah masyarakat kampung sebagai persembahan untuk Penguasa Rian Bara' ketika masih berkuasa. 


* Perhelatan bersambung....
Seiring dengan carut-marut Pemerintahan RI yang baru dan masih kuatnya intervensi feodal, komunitas Kedang pun, turut terseret dalam pusaran multi kepentingan di era tersebut. Di mana-mana, di kampung dan rumpun ada saja kebangkitan kalangan-kalangan yang berpengaruh sebelumnya, yang mengaktualisasi kedudukan dan kuasanya masing-masing. Kalangan yang ketika dulu menjadi bagian dari kekuasaan Kapitan Kedang/Rian Leu, memperkuat posisinya sebagai orang yang lebih berkuasa atas kampung atau rumpunnya. Demikian pula, hak penguasaan atas wilayah hidup(Duli)zaman hukum Rimba, terus menjadi sumber sengketa dari waktu ke waktu, karena klaim penguasaan sepihak, yang kurang memuaskan antar pemangku kepentingan. Banyak dari klaim penguasaan tanah kembali menggunakan versi tutur zaman Dorong dope'(Nomaden),ang Ba'a ular doro,  yang mestinya telah ditinggalkan sekian generasi berlalu. 
Tahun-tahun perhelatan kepentingan hak-hak penguasaan, sebagaimana digambarkan ini, terjadi  semenjak awal Kemerdekaan RI 1945 hingga tahun 1960-an. Klaim penguasaan sebagaimana digambarkan di atas, memang tidak terjadi di semua wilayah Duli di Kedang. Ada beberapa wilayah Duli yang mampu menciptakan kearifan-kearifannya untuk mewujudkan keharmonisan hingga sekarang. Namun ada beberapa wilayah Duli, yang terus mengalami gejolak klaim penguasaan hingga hari ini. 
Pada dasarnya, Kedang telah memiliki tatanan adat(struktur pemerintahan tradisional) jauh sebelum adanya Kapitan Kedang. Tradisi dan budaya Kedang menegaskan pada setiap rumpun(Kampung) adanya struktur pemangku yang disebut Tubar, Lein, Hikun, wanan atau Ka Le' matan. Hakekat pemangku kuasa adat semestinya diemban oleh turunan sulung pada rumpun/Kampung. Hal ini dapat diamati dalam penyelenggaraan ritus dan ritual adat. Ianya bergeser ketika Kapitan Kedang(Rian Bara') cenderung memilih figur-figur yang berpengaruh untuk menjabat sebagai Kepala kampung(Rian Leu) di era kekuasaannya. Dengan demikian, di kampung-kampung tertentu justru pemangku kuasa adatnya bukan orang dari garis keturunan Kesulungan(MekerLeu/A'e ame). Toh..apalah daya..! Komunitas yang masih sangat tradisional pada waktu itu, meng-amin-i dan malah pasrah pada kebijakan yang diterapkan setelah kekuasaan Kapitan Kedang berakhir. Apapun resikonya, figur-figur Rian Leu inilah, orang yang diandalkan untuk mengatur Leu/Kampung di era peralihan zaman feodalisme menjadi Negara Republik. 

   Lahirnya Kearifan semesta Kedang
     Wayan lama hoteng, Januari 1961
................ ........... .......... .......... ........
Judul tulisan ini, sengaja diulas kembali, untuk menghidupkan kembali semangat persaudaraan dan persatuan komunitas Kedang, yang diwariskan para pendahulu, yang secara komunal berjuang demi kesetaraan hak atas ( tanah adat) Kedang. 
Ulasan ini juga. sedikit banyak menjelaskan bagaimana kesamaan cita dan misi generasi lalu,  yang digerakan oleh para guru-guru Katholik perdana Kedang, yang tergabung dalam Partai Katholik Indonesia bersama Almahrum Bapak Abdurahman Sarabiti ( Imang Gilo Cs).  Disamping itu, ulas balik cerita sejarah, yang dikumpulkan dari berbagai sumber (tokoh adat Kedang) ini, hendak mengingatkan kembali setiap generasi penerus Kedang, untuk merakit pikiran-pikiran cerdas yang bermanfaat untuk keberlanjutan peradaban luhur warisan.  Pergerakan para pejuang kesetaraan, sekitar tahun 1950-an hingga tahun 1964 patut dicatat tersendiri sebagai pencapaian sejarah Peradaban kategori Istimewa dan luhur.  Para tokoh-tokoh penggerak perjuangan sangat ideal dinobatkan sebagai Pahlawan kesetaraan hak di Kedang.  Penyematan gelar Pahlawan bukan sesuatu yang berlebihan. Karena jasa dan pengorbanan mereka, yang sangat besar dalam semangat keadilan dan kesatuan komunitas Kedang, sulit ditemukan dalam setiap figur-figur sebelumnya maupun masa kini.
Tulisan ini, bisa dipandang kurang lengkap, tetapi ianya dianggap penting untuk meng-kuak tabir-tabir tertutup, yang melahirkan beragam strategi politisasi, yang cenderung menjadi sengketa horisontal dalam komunitas Kedang hari ini.  
Mengenang jasa luhur para Pejuang sayin Tua' Teda' bayan Wa' miwa', tulisan ini, berani dipublikasikan dengan merangkum secara umum beragam tutur sejarah.  Bertolak dari kilas balik sejarah penguasaan Wilayah hidup Zaman Nomaden, yang sudah diulas terdahulu hingga klaim lahan atas milik orang- perorangan.  Sebelum menyimak dan mengkritisi, pembaca dimohon untuk memberikan hormat sejenak, kepada, para pejuang peradaban dan kesetaraan, Almahrum ;  Rian Bara' Sarabiti dan kerabatnya, Bapak Guru Sio Amuntoda, Bapak Guru Hering Amunmamaq, Bapak Guru Miteng Buyanaya, Bapa guru Bumi dkk. Salut yang besar juga untuk Bapak Imang Gilo dan Bapak Rodo Tolang Cs, dan para Kepala Kampung ( RIAN LEU) serta semua tokoh-tokoh adat Kedang, yang terlibat dalam perjuangan panjang itu.  Alhasil, perjuangan panjang itu, telah melahirkan Musyawarah Besar Rakyat Semesta Kedang(MUBESRATA) Januari 1961 di Leuwayan. Sebagai pengantar ulasan ini, penulis mencoba ramu mulai dari awal tulisan ini,  tutur-tutur lama Zaman Nomaden hingga era Kapitan Kedang, yang tentunya sangat berhubungan dengan kemaslahatan hidup, terkhusus hak penguasaan tanah di era ini dan ke depannya.

* Latar belakang Deklarasi sayin Tua' Teda' Bayan Wa' miwa'...1961
Budaya sejarah tutur, menggambarkan begitu panjangnya, kisah peradaban Kedang, terutama sejarah tutur tentang penguasaan tanah(ulayat).  Ulasan sejarah tutur di atas semata sebagai pengantar sekaligus pelengkap latar belakang lahirnya Sayin Tua' Teda', Bayan Wa' Miwa'(penguasaan orang perorangan). 



Perjuangan masyarakat adat yang cenderung terpecah belah oleh kepentingan masing-masing, menjadi semakin runyam dengan tuntutan kerabat Rian Bara'(Kapitan Kedang} yang memaksakan dipungut upeti dari hasil panen petani di area hamparan Tanjung Leur(Tobotani)sekitar tahun 1950-an.  Hasil panen dibagi tiga bagian. Dengan pembagian jatah, dua bagiannya menjadi hak Kerabat Rian Bara'(Bapa Rian Cs). Ketentuan upeti ini sifatnya wajib dan dapat dipaksakan dengan kekerasan jika tidak ditaati. 

* Kronologi Kebangkitan perlawanan rakyat
Melihat kondisi komunitas adat yang tertindas dan terpecah belah ini, guru-guru perdana di Kedang, yang tergabung dalam Partai Katholik Kedang(Parkat). berusaha mengadvokasi masyarakat untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan hak atas tanah.  Bersamaan dengan gerakan ini, adapun kalangan Kerabat Rian Bara' yang tidak sepaham dengan penindasan hak-hak masyarakat kecil. Kelompok ini di dalangi oleh Almh Bapak Imang Gilo(Abdurahman Sarabiti).
Para aktivis Partai Katholik(Guru-guru angkatan 1950-an) sebagai kalangan cendikiawan lokal memandang perlu untuk menghentikan praktek feodal yang menyengsarakan rakyat Kedang di era tersebut.  Gerakan perlawanan politis pun dibangun dan dikonsolidasikan ke seluruh Kedang. Meski mendapat tantangan hebat dari kalangan Bapa Rian Cs, semangat juang para pemuda ini, tidak pernah pudar.  Tantangan yang paling berat adalah tidak ada dukungan dan keberpihakan Pemerintah.  Pengaruh feodal dan Borjuis yang kuat ditubuh pelaku Pemerintah paska awal kemerdekaan, kemudian menyeret para aktivis untuk diadili dan disiksa. Hari-hari yang damai, dipenuhi dengan intimidasi dan ancaman. 
Almahrum Abdurahman Sarabiti(Imang Gilo) yang merupakan seorang alim ulama, mengerahkan pengikutnya untuk turut melawan penindasan yang dilakukan kerabatnya sendiri. 
Perjalanan panjang perjuangan, semenjak tahun 1950-an, baru membuahkan hasil diawal tahun 1961.  Meski para aktivis dan pendukung Imang Gilo, ditangkap dan disiksa oleh algojo-(Tentara) di Balauring. 

* Kilas balik kisah penyiksaan.
Berikutan dengan lahirnya Aturan-Aturan pokok Agraria(Land the farm), 1960, para pejuang seakan mendapat angin segar dari kerontangnya perjuangan panjang.  Aturan-aturan Pokok Agraria ini, direspon sebagai penyelamat rakyat jelata yang tertekan dibawah kuasa kaum Borjuis. Kebangkitan rakyat jelata di Indonesia pada waktu itu, turut memicu kesadaran rakyat Kedang untuk bangkit menuntut kesetaraan hak atas lahan hidup di tanah adatnya sendiri.  Kerabat Kapitan Kedang(Bapa Rian Cs) mulai terganggu dengan perubahan kebijakan publik ini. 
Penindasan atas petani di hamparan Tanjung Leur(Tobo tani) merupakan issu besar yang menggerakkan para aktivis untuk menuntut kesetaraan hak. Para pejuang kemudian ditahan dan diadili secara sepihak. 
Adapun kilas balik wawancara kami dengan aktivis yang sempat ditemui ketika masih hidup(sekitar 2007-2009),almahrum Nenek Guru Hering Amunmama, mengisahkan perjalanan panjang perjuangan bersama sahabat-sahabatnya.
Demikian kilasan tutur sang aktivis ini;
"Intimidasi dan kekerasan yang menimpa masyarakat kecil Kedang di era 1950-an hingga 1960-an, tidak semata upeti hasil panen.  Pemerintahan Negara yang penuh carut-marut politik dan sosial di era awal kemerdekaan, sangat terasa dampaknya hingga ke pelosok tanah air.  Wilayah adat Kedang, merupakan pelosok yang jauh tertinggal. Kaum feodal dan Borjuis mengendalikan nadi kekuasaan dan Pemerintahan. Sulit dibedakan, mana sebenarnya Pemerintah dan kuasa feodalisme.  Cengkraman kekuasaan ini membiarkan perampasan hak hidup terjadi di mana-mana. Setiap orang kecil yang hendak menjual hasil buminya ke Balauring, harus berhadapan dengan resiko palak(upeti yang tidak wajar) hingga perampasan hasil komoditi di jalan-jalan yang sepi. Masyarakat yang datang jauh dari gunung, terpaksa pasrah dengan perlakuan-perlakuan diskriminatif oleh para pesuruh dan pengikut penguasa.  Dan banyak lagi derita yang dialami terjadi di masa-masa transisi di awal kemerdekaan Republik Indonesia. 
Di era ini, masyarakat pada umumnya belum mengetahui apa yang di sebut Kemerdekaan. Dapat dinyatakan bahwa, para guru-guru Katholik(para aktivis), merupakan generasi Kedang pertama yang bisa mengenyam pendidikan hingga berprofesi sebagai guru. Mereka menyebar di beberapa sekolah dasar perdana di Kedang. 
Di suatu malam, di awal-awal Januari 1961, semua aktivis dijemput dan ada yang diciduk, dan dibawa menghadap mantan Kapitan Abdulsalam Sarabiti selaku Koordinator Desa-desa(Kordes), dan selanjjutnya diminta pertanggungjawaban atas aksi-aksi boikot upeti dan gerakan berbau pembangkangan ketika itu. Ternyata tidak hanya guru-guru Katholik yang diciduk. Setelah terkumpul semuanya baru diketahui almahrum Bapak Rodo Tolang dan beberapa rekannya ikut diciduk. Beliau terendus sebagai komplotan yang berjuang dibelakang Abdurahman Sarabiti(Imang Gilo), yang getol menentang maraknya penindasan gaya feodal. 
Para tersangka ini, dirajam dan disiksa. Tidak cukup dengan rajam, mereka dipaksa berendam ke laut dalam selama berjam-jam ditengah malam yang dingin. 
Sebagai kenangan untuk penulis, almhrum Nenek Guru Hering menunjukan bekas luka memanjang di punggungnya, sebagai bukti kesaksiannya. Bekas luka yang terjadi puluhan tahun itu, tidak hilang dari kulit punggungnya hingga beliau mangkat. Adapun kisah yang direkam dari anak-cucu almahrum Rodo Tolang, yang mana jimat bawaannya terpaksa dilepaskan agar tidak tenggelam di laut saat disiksa ditengah malam itu. Sementara para aktivis yang lainnya, pulang dengan membawa memar dan luka-luka ringan. Dapat dibayangkan keras dan kejamnya penyiksaan jika ianya dilakukan oleh tentara di era tersebut. 
Waktu terus berlalu, dan kemudian baru diketahui kalau, tragedi penyiksaan itu, sempat sampai ke kuping Yang Mulia Uskup Larantuka.  Berselang bulan, Uskup Larantuka, melakukan kunjungan ke Paroki Kedang waktu itu, dan mengadakan kurban misa di gereja stasi Leuwayan. Sebagai ungkapan belaskasihannya, Yang Mulia Uskup Larantuka, meminta para aktivis maju ke depan altar dan mendapat berkat Penguatan khusus. 
Dari pertemuan dan dialog bersama para aktivis, Bapa Uskup berjanji untuk menyampaikan kondisi tersebut kepada Bupati Flores Timur. 
Atas desakan dari Uskup Larantuka, Bupati Flores Timur, YB Bulan terang de Rosari, kemudian turun tangan menengahi perhelatan kepentingan ini, pada Januari 1961.

* Konsolidasi MUBESTRATA(Musyawarah Besar Rakyat Semesta) Kedang. 
Rencana acara akbar ini, melahirkan semangat baru bagi para aktivis semakin menemukan harapan perjuangannya. Konsolidasi dilakukan dengan sangat masif, meski di sana-sini, mendapat intimidasi pihak- pihak yang berpengaruh. 





Selain hirarki keturunan dari Uyelewun, adapun versi yang lain yang menuturkan susunan silsilah dari kampung- kampung tertentu yang tidak berhubungan atau " kemungkinan" bukan keturunan Uyelewun.  Ada beberapa versi tutur lama yang menggambarkan awal mula kehadiran pendahulu kampung- kampung tersebut.  Terdapat versi tutur lama yang menceritakan turunan awal mula kampung atau rumpun yang silsilahnya tidak tersambung ke Uyelewun, mengkisahkan ada yang timbul dari dalam air.  Ada juga yang menuturkan generasi awal mulanya terdampar di suatu pantai atas bantuan seekor ikan Paus. Dan menurut pengamatan yang masuk akal, bisa saja rumpun-rumpun kampung yang turunannya tidak berpautan dengan leluhur Uyolewun adalah etnis lain yang disebut Lepan Batan atau etnis lainya yang berekspansi ke wilayah Kedang, sekian abad silam.  Awal ekspansi ini dapat didalami berdasarkan dari beberapa tutur legenda, yang menceritakan kembali kejadian alam awal-mula, tentang perubahan rupa bentuk bumi, yang disebabkan oleh kejadian bencana alam yang dasyat. Mungkin saja pada zaman yang berhubungan dengan mencairnya es di kutub utara.  Nah, ekspansi etnis bukan asli Uyelewun ini, banyak diketahui, mendiami wilayah, sepanjang pantai Bean hingga Tobotani(riwayat, HARI HOLO, BEAN LEU PITU AUR WUTU' LEU AYA', (riwayat RIBU KAI DANG-MAU KAI DANG, ILA LAI-MATA LAI dll).


HUKUM RIMBA 

Dalam pengamatan sebagaimana tutur-tutur lama, pembauran hidup kedua etnis ini, telah terjadi jauh sebelum kekuasaan RIAN BARA'(empayar Kedang).  Dalam pembauran kehidupan kedua etnis inilah, telah terjadi fenomena sengketa persaingan kekuatan mengklaim hak penguasaan atas wilayah hidup di tanah adat Kedang, berdasarkan tutur-tutur lama yang dapat direkam di setiap kampung. 
Seiring dengan sengketa klaim- mengklaim antara rumpun asli dan rumpun yang datang dari luar ini, peradaban Kedang di zaman Nomaden pun, masih mengamalkan praktek hukum Rimba.   Sebagaimana tutur sejarah lama, benturan horisontal tidak saja terjadi antara kaum asli dan pendatang, tetapi ianya lazim terjadi antara sesama turunan Uyelewun sendiri.  Dalam setiap tutur sejarah penguasaan wilayah hidup, banyak kejadian sengketa terjadi antara saudara dan kerabat yang baru dipisahkan dua atw tiga lapis keturunan.  Catatan peradaban Nomaden Kedang, sebagaimana ulasan ini, yang tidak jauh bedanya dengan sejarah zaman dulu dari suku bangsa lainnya di Indonesia. 
Kisah-kisah perang, persengketaan panjang, hingga pada persepakatan damai, menjadi penghias utama laman kisah pada tutur-tutur lama yang juga terus digulirkan hingga generasi hari ini. 

Selain kisah tentang berlakunya Hukum Rimba, adapun kearifan dan kebijaksanaan yang berkelanjutan, turut menjadi paragraf inti dari setiap tutur sejarah tersebut. Ada kisah sengketa yang mampu diakhiri dengan persepakatan adat(Sayin bayan) untuk berdamai dan hidup berdampingan, dan ada yang berakhir dengan hasil yang menggantung, karena salah satu pihak memilih menghindar atau berpindah mencari tempat yang lain.  Selain itu, ada kondisi rumit yang diwariskan hingga hari ini adalah, ada di wilayah tertentu, sengketa klaim ini, tidak berakhir atau terus menjadi area klaim- meng- klaim hingga pada zaman berdirinya pemerintahan Rian Bara' Sarabiti(zaman kolonial). 
Kendati demikian, semua kisah yang dituturkan, tetap dipandang sebagai gambaran ulang, bagaimana komunitas Kedang mampu hidup dalam peradaban yang luhur, kendati belum tertata baik dalam satu pengaruh Kekuasaan.  Meskipun hidup secara Nomaden, komunitas Kedang awal mula, mampu mempertahankan sumber hidupnya dengan berkiblat pada keyakinan akan kekuasaan Agung Pencipta, yang diyakini kemahaannya ibarat Bulan dan Matahari (Wula loyo) dan kemurahan Nya ibarat tonggak bumi, ibu yang suci (Uhe ara niku niwang/ ero awu').   Komunitas purba yang hidup tanpa pengaturan dan teradministrasi, mengabdikan pengharapan pada keyakinannya akan kekuatan dan kekeramatan hukum dan pantang larang keyakinan Lama (WELA) yang mendasari tata hidup manusia awal- mula ini, bahwa sesungguhnya tanah/alam ini milik sang Pencipta dan diberikan kepada semua makhluk untuk hidup dan menghidupkan. Oleh itu, mengklaim tanah/wilayah atas nama sendiri apalagi bersengketa dan berperang, sesungguhnya tidak dibenarkan oleh Keyakinan Lama.  
Akibat dari benturan panjang, dampak dari hukum Rimba dizaman Nomaden, menjadi salah satu alasan, terjadinya fenomena pindah randah(dorong dope')rumpun komunitas, yang terus hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.  Terkait fenomena pindah-randah ini, sebagaimana tutur-tutur lama, adapun serpihan turunan Kedang yang dituturkan, berpindah ke wilayah lain di Lembata dan malahan ada yang berlayar mencari hidup baru ke pulau- pulau lain, sekian abad yang lalu.
Peng-abadi-an tutur-tutur sejarah itu, terendus pada ritus-ritus adat dan ritual-ritual keyakinan lama (Wela), yang masih diyakini oleh sebagian besar komunitas Kedang hari ini.
Persaingan kekuatan untuk menguasai dan mengklaim sebagaimana digambarkan oleh penulis sebagai fenomena, kemudian meninggalkan sebutan atau istilah-istilah lokal yang antara lain lazim disebut Duli ria, pali Kedeng, nanga atur la' ledur, ang ba'a ular doro(semacam klaim kuasa atas wilayah tertentu).  Jika diamati dengan seksama fenomena ini, ada dalam tutur sejarah setiap kampung dengan kisahnya sendiri-sendiri. Sengketa klaim penguasaan inilah yang disebut oleh penulis sebagai sejarah peninggalan peradaban Lama atau Nomaden(Dorong dope').  Dengan mengandalkan kekuatan ilmu-ilmu kebatinan, para petarung di zaman Nomaden ini, sanggup mempertahankan tanah adat Kedang dengan caranya,untuk diwariskan lagi pada generasi selanjutnya.  
Dalam keyakinan lama Kedang, dikenal sebuah ritus sederhana, yang sifatnya mengikat dan sakral, disebut Luru' maran. Ritus ini merupakan upacara adat paling sederhana dalam men-sah-kan sebuah kesepakatan ataupun mengikat perjanjian. Adapun ritus serupa yang lebih besar dan tingkat cakupan lebih luas yang disebut pute' sayin hala' bayan,  yang kemudian menghasilkan Persepakatan bersama (sayin bayan).  Sayin bayan inilah, satu-satunya sarana hukum adat warisan yang mengatur tata hidup berkomunitas di Kedang.  Bahwa, meskipun hidup berkuasa dengan hukum Rimba, komunitas Kedang sebagaimana kehendak keyakinan lama (Wela), menempatkan kepentingan perdamaian dan keharmonisan sebagai titian kokoh menuju akhirat.  Melanggar persepakatan bersama,  hukumnya akan mendapat tulah dan tidak menemukan kedamaian diakhirat nanti. +++++

Ahar Puting, Oli' Pireng
(Hukum Larangan/ pantang)

Sebagaimana kisah sejarah awal mula pada umumnya,  komunitas Kedang zaman Nomaden tidak terlepas dari strategi politisasi penguasaan wilayah. Meski telah dilarang dalam hukum keyakinan Lama(Ahar puting oli' pireng), ada saja rumpun atau oknum yang tidak taat.  Dapat ditemukan dalam tutur-tutur lama, dimana sayin bayan (aturan adat) dipolitisir untuk melanggengkan klaim penguasaan.  Atas keyakinan yang besar akan adanya petaka hukuman yang dibalaskan oleh Yang Maha Kuasa, rumpun komunitas yang lemah, membiarkan pelanggaran-pelanggaran terjadi.  Dampaknya pun, mengakibatkan kampung-Kampung yang lemah,  diam dan pasrah.  Adapun rumpun yang tidak puas memilih jalan bertarung dan bertahan. Yang menjadi fatal adalah, ada yang korban nyawa, baik karena perang terbuka atau dengan menggunakan kekuatan alam, sebagaimana diyakini (Neba nepi), kemudian mewariskan pantang darah (Ai la'i ube' lama') hingga turun- temurun. Kampung yang setia dan berniat damai, mengakhiri kisah tuturnya dengan menggunakan kata penutup, "itu sejarah masa lalu, tidak harus diungkit bangkit, haram hukumnya( Lulun loman laman laleng, lepi' letu' leteng ubeng), namun ada juga yang seakan menegaskan kepada generasinya, untuk kembali hidup di zaman Nomaden, alias secara sepihak mengklaim cerita sejarah lama yang tidak laik zaman lagi,  sebagai dasar penguasaannya, atas wilayah hidup yang sudah dikuasai oleh orang-perorangan atau dengan kata lain, mempolitisir sejarah secara sepihak demi kepentingan penguasaan lahan/ wilayah hidup.

FIGUR PETARUNG ZAMAN HUKUM RIMBA DAN WILAYAH PENGUASAAN ZAMAN NOMADEN. ++++++
......... ....... ........ ........ ....... ....... ....... ........
Adapun keberagaman penguasaan wilayah hidup (duli), telah melahirkan nama petarung dizamannya, yang dalam dialek Kedang disebut MI'ER RIAN.  Atas keberaniannya, perdana mengklaim dan menguasai, kemudian nama para petarung diabadikan sebagai Duli wala/Awu' wala.  Petarung dan generasi turunannya diistimewakan dalam tradisi keyakinan lama Kedang, untuk wajib dibagikan hak atau bagian khusus, baik hasil buruan ataupun jatah sesajian dalam ritus-ritus diatas wilayah nya.  Adapun beberapa nama petarung yang masih dituturkan hingga saat ini, diantaranya, Ulu' Turin dapu turin,  Lia Rian Moi Lating, Benihading, Benimau, Beni hitong, Hide tawang, Ope Keto', Parang Uma.. dan banyak lagi yang belum dicatat oleh penulis.  Demikian juga dengan wilayah-wilayah Duli/Pali, Penguasaan zaman Nomaden yang sempat tercatat oleh penulis, antara lain,  E'a pu'en Leu bo'ol, Benihading, Ubang bating loba' bating, Hiba raba mau raba, kote kai leto beni, bunga hide mau bara, Peu uma, ala behu turin ala behu tangen, peu ara wei laleng, dan banyak lagi yang belum tercatat oleh penulis. 

 
Adapun tutur lama tentang, penguasaan wilayah hidup di zaman Nomaden yang tidak melalui perang saudara. Kaitan dengan hal ini, dituturkan di beberapa wilayah, perolehan penguasaan wilayah hidup melalui, kesepakatan antar pihak atau balas jasa atas bantuan pihak-pihak terkait, dan juga ada yang diperoleh atas pemberian-pemberian tumbal kepada penguasa bumi(Neda hari mu liwang)( sumber: riwayat Uhe, Kote kai leto beni, Bunga hide mau bara, Peu ara Wei laleng, wulakada, Benihading,dan masih banyak lagi).  Bentuk-bentuk penguasaan Wilayah hidup (duli) zaman Nomaden ini dibuktikan dengan penamaan tapal batas (nanga atur) yang pada dasarnya berkelok atau tidak lurus, yang diibaratkan seperti burung yang terbang di udara dan ular melata di atas tanah ( ang ba'a ular doro).  Nama dari tapal-tapal batas ini, dapat ditemukan dalam tutur-temutur kampung-kampung di Kedang.  Kendati telahpun ditetapkan sebagaimana riwayat penguasaan ini, adapun diantaranya yang terus mempersengkatakan tapal batas klaimnya.  Ketidakpuasan-ketidakpuasan ini kadang berbuah fatal, dimana terus terjadi sengketa terbuka maupun ibarat api dalam sekam. Kondisi ini terus berlanjut, kendati kecil pengaruhnya untuk meruntuhkan peradaban luhur pada zaman tersebut. 
Pada akhirnya, keadaan peradaban yang penuh dinamika ini, terbawa hingga berdirinya empayar Sarabiti Kedang, kira-kira akhir era 19700-an. 



KEBIJAKSANAAN RIAN BARA' SARABITI
    (Sayin bayan Pai' oyo' la' oyo', Pai' ma la' ma atau penguasaan secara Komunal))+++++
Diperkirakan sekitar tahun 1700-an hingga awal 1900-an, sebuah Empayar kekuasaan pertama, berdiri dan berkuasa, di Kedang. Biasanya disebut Rian Bara' Sarabiti atau Empayar Kedang, yang diketahui mencetuskan penyatuan etnis-etnis dan kampung-kampung di seluruh Kedang.  Sebagai upaya untuk membangun pengaruh kekuasaannya, Rian Bara' Sarabiti mendeklarasikan terbentuknya kampung-kampung(Tuba' Leu), yang awalnya tercerai- berai untuk bersatu dalam 44 kampung, masuk dalam klaim kekuasaannya. Adapun kampung Dolulolong, tidak mau akur dibawah Kekuasaan Sarabiti, yang kemudian membentuk kekuasaannya sendiri. 

Kebijaksanaan Sarabiti untuk mempersatukan seluruh komunitas Kedang, menjadi khazanah Sejarah yang patut di banggakan.  Etnis-etnis pendatang yang hendak mendeklarasikan diri untuk berada dalam wadah- kampung-kampung, mengadaptasikan diri dengan melebur ke dalam serpihan etnis asli turunan Uyelewun( bersandar pada serpihan turunan asli) untuk mendirikan kampung, sebagai syarat mutlak menjadi orang Kedang, sebagaimana ketentuan keyakinan Wela(Keyakinan Lama),(wa' tude' dei wa', ai hedang dei ai).  Dari pembauran ini yang diresmikan dengan ritus khusus, ianya  dinyatakan sah, sebagai bagian dari etnis Kedang.  Ketentuan ritual pengesahan secara adat ketika membangun kampung, dalam pembaurannya bersama etnis asli, semestinya tidak ada lagi yang mengklaim sebagai etnis pendatang, tetapi semuanya terpaut pada turunan yang satu, Uyelewun sendiri. Sumpah-sumpah deklarasi adat dalam ritus ini, sangat sakral nilainya dan mengharuskan untuk kisah klaim asli dan tidak menjadi hal yang dipantangkan, yang dalam istilah adat disebut Lulun Loman Laman Laleng, Lepi' Letu' Leteng ubeng. 
Sumpah adat, Lulun Loman laman laleng, Lepi' Letu' Leteng ubeng, juga berlaku untuk semua perjanjian damai, antar rumpun untuk hal kehidupan lainnya. Pengesahan puncak dari perjanjian damai ataupun kesepakatan bersekutu, dan pengaturan-pengaturan tata hidup lainnya sifatnya abadi atau dalam istilah lokal disebut, Tua' Luru' witing mate. Ketentuan yang mengacu pada keyakinan lama, ini melahirkan keluhuran kearifan lokal yang menempatkan keharmonisan sebagai jaminan menuju kemaslahatan hidup komunitas.

Kebijaksanaan yang terukur dan mulia, yang tercatat sebagaimana tutur-tutur lama, yang dicetuskan di zaman Rian Bara' Sarabiti adalah, penguasaan ulayat secara Komunal dalam aturan adat (Sayin-bayan) yang disebut Sayin Pai' oyo' la' oyo', Pai' ma la' ma, sio la' nope, ahin la' se'e).  Dijangkakan, aturan penguasaan secara komunal atas ulayat ( tanah adat) Uyelewun, berlaku, selama -+ 200-an tahun.  Kebijaksaan Sarabiti terkait penguasaan Komunal atas tanah adat Uyelewun, dizamannya, dipandang sebagai aturan adat sebagaimana doktrin Keyakinan Lama Kedang( WELA).  Artinya, kearifan menyatukan dan mendeklarasikan 44 kampung dan menerapkan hukum penguasaan Komunal sangat berdasarkan pada keluhuran keyakinan Lama yang kemudian diyakini sebagai adat- istiadat Kedang di zaman sekarang. ++++

POLITISASI PENGUASAAN WILAYAH HIDUP,  PASKA EMPAYAR SARABITI.
...   ......... .......... ......... ......... ........ ........
Kekuasaan Rian Bara' Sarabiti, tidak bertahan dan jatuh seiring dengan kemerdekaan Repulik Indonesia 1945. Kekuasaan yang bijaksana itupun kembali porak-poranda, karena ada serpihan penguasa Sarabiti yang cenderung meneruskan pengaruh feodalisme nya, meskipun Indonesia sudah merdeka. Pengaruh feodal dan borjuis yang mendominasi kekuasaan Negara di tahun-tahun awal Kemerdekaan, turut dirasakan oleh komunitas Kedang di era tersebut. Adapun kerabat/turunan Rian Bara' Sarabiti yang melupakan kebijaksanaan pendahulunya, dengan bertindak tangan besi. Mengklaim penguasaan atas area-area potensi dan menerapkan kewajiban upeti bagi para petani(masyarakat kecil yang dianggap sebagai penggarap semata). 
Perjalanan derita yang dialami masyarakat Kedang pada waktu itu, memotivasi para guru-guru Kedang pertama, yang tergabung dalam Partai Katholik Indonesia, untuk bergerak membebaskan rakyat kecil dari tekanan feodalisme. Gerakan ini pun kemudian didukung oleh Imang Gilo Cs yang juga merupakan kerabat dekat Rian Bara', yang tidak setuju dengan tindakan-tindakan kerabat nya yang lain. Terkait dengan pertentangan di dalam keluarga kerabat Rian Bara', sebagaimana disimak dalam tutur-tutur sejarah, mempunyai alasan tersendiri yang tidak perlu ditulis dalam judul ini. 
Pokok penting yang perlu diangkat dalam tulisan ini, adalah, Aturan penguasaan Komunal yang diterapkan oleh Rian Bara' selama lebih dari 200-an tahun, kemudian secara drastis bergeser dan malah terjadi klaim penguasaan sendiri oleh kaum feodal Kedang pada waktu itu. +++

TRAGEDI 1957
......... ........... ........... ..........
Sebagaimana riwayat awal pemerintahan di Kabupaten Flores Timur waktu itu, kepala pemerintahannya dipegang oleh militer, yang tentunya masih menempatkan kaum feodal sebagai kekuatan utamanya.  Keberpihakan besar pada kalangan feodal Kedang inilah, kemudian membuahkan bilur-bilur cambuk, ditubuh para pejuang kesetaraan hak di Kedang. Para guru Katholik dan anak buah dari Abdurahman Sarabiti(Imang Gilo), dicambuk dan dipaksa rendam dilaut ditengah malam yang dingin.  Dampak dari pergerakan mereka yang dinilai melawan Rian Bara'. Ada beberapa nama yang tercatat oleh penulis sebagaimana ulasan awal diatas dan banyak lagi yang sulit diketahui, karena kurangnya sumber yang mau menceritakan kembali.  Namun demikian, penulis sempat bertemu dengan salah seorang tokoh pejuang, yang masih menyimpan bekas cambuk dipunggungnya, dan inilah gambaran betapa perihnya perjuangan mereka.  Opa guru Hering Amunmamaq, adalah salah satu tokoh paling vokal, bersama petarung terdepan di Partai Katholik Kedang, Opa Guru Sio Amuntoda (ketua Parkat) dan Opa guru Miteng Buyanaya (Sekretaris Parkat). Demikian pula dengan Opa Rodo Tolang, dari Kalikur WL, yang bersaksi akan jimatnya yang terpaksa dilepaskan ditengah laut, karena kalau tidak beliau tentu tenggelam karena jimatnya itu pantang kalau dipakaikan ketika berenang. Berkaitan dengan ini, tentu saja banyak lagi pejuang yang belum terungkap , yang punya kisah-kisah pahitnya sendiri.  Sudah tidak rahasia lagi, bahwa banyak sekali Kepala Kampung, yang mengalami intimidasi penyiksaan karena mendukung gerakan Para pejuang kesetaraan. 

RAGAM MISI PERJUANGAN
......... ........ ....... ....... ....... ....... ......
Perjuangan kesetaraan yang digalang oleh para tokoh pejuang diatas, tidak saja mendapat tantangan besar dari Pemerintah yang bermental borjuis tetapi juga tantangan dari dalam tubuh rakyat Kedang sendiri.  Kesenjangan ekonomi dan minimnya sentuhan pemerintah, diawal-awal tahun Kemerdekaan, membuka peluang kepada rumpun-rumpun tertentu untuk turut mengklaim penguasaan tanah ulayat, sebagaimana versi zaman Hukum Rimba yang telah lewat sekian abad yang lalu.  Apapun terjadi perjuangan harus diteruskan dalam misi memperjuangkan kepemilikan dan hak atas tanah ulayat yang adil dan setara.  Sebagaimana tutur-tutur sejarah lama, banyak rumpun komunitas yang terus mempertahankan kebijaksanaan warisan leluhur untuk mengagihkan lahan olah dan tempat bermukim pada kerabat atau sekutunya yang telah terikat dalam kebersamaan dan kekeluargaan turun-temurun.  Tradisi yang arif dan damai ini, dapat ditemukan dibeberapa wilayah ulayat di Kedang hingga saat ini. Semua rumpun komunitas yang semenjak dulu tinggal berdampingan, terus menghargai kearifan warisan.  Tanah untuk lahan hidup diberikan dengan sukarela, berdasarkan amanat luhur turun temurun.
Namun ada kalangan rumpun tertentu yang seakan baru bangkit dan hendak mengklaim kembali penguasaan berdasarkan tutur lamanya yang penuh persengketaan.  Hendak menunjukan kuasa sepihak atas area wilayah tertentu, dengan tidak mengindahkan kebijaksanaan leluhur yang mengikrarkan perdamaian antar rumpun yang hidup berhampiran.  Klaim penguasaan sepihak ini, seolah-olah menghantar pola pikir masyarakat kembali hidup di zaman Nomaden. 
 Alhasil, ada wilayah ulayat tertentu yang diagihkan dengan damai hingga hari ini, namun ada juga yang terus menjadi polemik dan menjadi area yang tidak kondusif (sering sengketa) hingga hari ini. Kondisi carut-marut ini, dapat disebut fenomena politik penguasaan sepihak. Rumpun-rumpun yang berkeinginan menguasai, merasa seakan baru lepas dari kurungan, karena tidak berkutik selama kekuasaan Rian Bara', dan baru hendak menunjukan ambisi penguasaannya. Meski demikian, semuanya berhasil disatukan oleh para tokoh Pejuang, untuk tetap melihat kepentingan kesetaraan dan keadilan hak menguasai secara individu, sebagai misi besar perjuangan bersama dikala itu. 

BUAH MANIS PERJUANGAN
.......... ......... .......... ......   .........
Tidak lama berselang, setelah disiksa dan dicambuk, para guru-guru Katholik ini, mendapat berkat dari Bapak Uskup Dioses Larantuka, yang pada waktu itu melakukan kunjungan atas umatnya di Kedang.  Kesaksian-kesaksian dari para guru-guru Katholik ini, membuat hati Bapak Uskup bersimpati, sehingga akhirnya mampu mempengaruhi Bupati Flores Timur untuk segera menyelesaikan persoalan umatnya di Kedang.  Dengan demikian tercetuslah acara Mubesrata Kedang, Januari 1961. 

SEMANGAT MUBESRATA KEDANG
DALAM POLITIK DIPLOMASI PARA PEJUANG
( Januari 1961 di Leuwayan).
................ .............. ........ ............ ........
Kuasa tangan besi kaum feodal Kedang yang paling terasa dampaknya adalah para petani di hamparan Tobotani.  Kemelut kepentingan orang-orang kecil ini, kemudian membakar semangat sebagian besar masyarakat Kedang untuk bangkit dan berjuang.  Bermodal semangat Kesatuan komunitas dan kesetaraan hak atas lahan tanah yang berkeadilan bagi semua orang, para Pejuang kesetaraan mengadvokasi kesengsaraan rakyat ini. 
Polemik klaim-mengklaim antara rumpun tertentu terus terjadi.  Keadaan ini tidak melunturkan motivasi mulia para guru-guru katholik dan Imang Gilo Cs. 
Sebagaimana yang diterangkan dalam dokumen-dokumen catatan,  Sekretaris Parkat (Opa Guru Miteng Buyanaya), pada Januari 1961, terjadilah Musyawarah Besar Rakyat Semesta Kedang, yang dihadiri langsung oleh Bupati Flores Timur waktu itu. " Apapun yang terjadi kemudian hari, tidak harus diperdebatkan, intinya bahwa kali ini kekuasaan feodal atas lahan-lahan olah milik rakyat di hamparan Tobotani harus diakhiri",  demikian kesaksian Opa guru Hering Amunmamaq. 
Dengan bermodal semangat juang yang tinggi dan kecintaan akan rakyat kecil, para tokoh perjuangan, coba meyakinkan semua utusan dari 44 kampung untuk bersaksi dengan keterangan yang sama.  Bahwa masyarakat Tani di hamparan Tobotani dan diseluruh wilayah Kedang, harus diselamatkan dari penindasan feodalisme. 

POLITIK DIPLOMASI
.......... ........ ....... ....... ... ............. .....
Politik musyawarah itu, sukses dengan keputusan antara lain ; seluruh hamparan Tobotani pada khususnya dan wilayah tanah adat pada umumnya adalah hak milik seluruh masyarakat Kedang.  Dengan tetap menjunjung keberadaan para Duli Wala, yang berhak mendapatkan bagian dari hasil perburuan dan jatah dari ritus-ritus (ere patang ruha nangi),diatas wilayah tersebut.  Kesimpulan yang bijak dan arif dari musyawarah besar ini adalah, bagi warga yang telah mengolah lahan dihamparan Tobotani diberi hak menguasai sesuai kemampuan olah nya, dan jika berkenan atau mencintai lahan tersebut, perlu ditanam tapal batas sebagai tanda bukti dan membayar pajak sebagaimana ketentuan Aturan-aturan pokok Agraria tahun 1960.  Kesimpulan musyawarah ini, kemudian disepakati menjadi keputusan dan disahkan dengan Ritus Pute' Sayin Hala' bayan(ritus perjanjian adat) yang melahirkan kesepakatan adat yang dikenal sebagai Sayin Tua' Teda' Bayan Wa' miwa' atau Kepemilikan atas nama orang-perorangan yang didasarkan pada Aturan-Aturan Pokok Agraria 1960. 
Kesepakatan adat ini, sifatnya mutlak dan terukur. Akan tetapi ada catatan kaki yang dipandang dapat menimbulkan multi tafsir, sebagaimana dialami hari ini.  

POLEMIK PASKA MUBESRATA KEDANG
.....Leuwayan, Januari 1962......
........... .......... ........ ....... ........ ............
Aplikasi dari kesepakatan adat (sayin Tua' Teda' bayan Wa' Miwa'), berlaku dengan tetap menghormati kearifan-kearifan leluhur.  Pada wilayah Duli tertentu, ketentuan pengagihan lahan olah didasarkan pada kekerabatan dan persaudaraan.  Ketentuan pendahulu yang menempatkan salah satu rumpun pewaris yang dikultuskan sesuai tradisi, tetap dihargai posisinya. Kondisi seperti ini, dapat kita saksikan di wilayah Duli tertentu, dan tidak membuahkan persoalan saling klaim, hingga hari ini.  Kearifan yang lain adalah, bersamaan dengan berlakunya Sayin Tua' teda' bayan wa' miwa', ada pemangku (Duli wala) pada wilayah tertentu, yang langsung membagikan wilayah olah dalam rumpun komunitas mereka, untuk dijaga bersama dan didaftarkan untuk dikenai surat pajak(contoh: Duli Peu Uma).  Tindakan yang cepat tanggap ini, menjadikan Suku NuturAmun, dan suku-suku lain dalam rumpun Peu Uma, memiliki tanah sukunya masing-masing hingga hari ini. 
Apakah, keadaan inipun dilakukan oleh pemangku (Duli Wala) lainnya..? 
Faktanya, ada yang tidak melakukan upaya atau tidak tanggap. Secara politis, hal ini dinilai sebagai tidak cepat tanggap arau dengan kata lain kekalahan secara politis. Keputusan Sayin Tua' Teda', tetap bergulir untuk wilayah lainnya.  Gaung dari Mubesrata, Leuwayan 1961, dilihat sebagai kemenangan politik masyarakat luas di Kedang.  Rakyat petani, berjuang menerokai hutan dan padang lalang untuk mendapatkan kaplingan hak penguasaannya.  Bersamaan dengan fenomena kapling-mengkapling ini, ada wilayah tertentu yang kerap terjadi sengketa klaim penguasaan.  
Wilayah yang paling banyak menuai sengketa adalah, hamparan sepanjang pantai Bean hingga Tobotani.  Kondisi ini, jika ditelusuri, disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, sejarah penguasaan awal -mula yang penuh dengan sengketa peperangan antar rumpun-rumpun komunitas Nomaden. Sentimen tentang asli dan pendatang menjadi alasan sengketa di awal-mula, dan kemudian baru didamaikan oleh Rian Bara' Kedang dimasa kekuasaannya. Alasan yang lain adalah komitmen masyarakat petani atas Sayin Tua' Teda' bayan Wa' miwa' atau klaim kepemilikan lahan atasnama orang-perorangan, sebagaimana kesepakatan Mubesrata Kedang, Leuwayan 1961.  Masyarakat Tani yang telah memiliki kaplingan lahan disepanjang hamparan Tobotani, pada umumnya adalah turunan leluhur yang punya kaitan sejarah sengketa perebutan wilayah hidup sejak jaman Nomaden.  Banyak kisah yang dituturkan mengenai perang antar rumpun, yang waktu itu, bermukim dan mempertahankan wilayah tersebut. Jika ditelusuri secara mendalam, sengketa-sengketa dulu itupun, ada yang diakhiri dengan perdamaian atau kesepakatan adat(sayin bayan). Adapun sengketa yang tidak diakhiri dengan damai. Ianya justru membuat komunitas tercerai-berai dan kemudian baru kembali menerokai wilayah itu, setelah berdirinya Empayar Kedang. Tumpang tindih persoalan antar rumpun komunitas ini, semestinya telah berakhir ketika diberlakukan Sayin bayan, Pai' oyo' La' oyo', pai' ma la' ma atau hak kuasa secara komunal, oleh Rian Bara' Kedang.  Dan berlanjut lagi hingga Mubesrata Kedang 1961, beralih menjadi penguasaan atasnama individu sesuai kekuatan olahnya atau Sayin Tua' teda' bayan wa' miwa'. 


RELEVANSI ALASAN SENGKETA (hamparan Bean hingga Tobotani.)
........... ........... ........ ......... ........ .........
Perhelatan panjang, klaim penguasaan atas wilayah ini, semestinya sudah berakhir. Demikian kesaksian yang diungkapkan oleh Bapak Moi Maring Benidau.  Adapun tokoh adat lainnya, Bapak Likur Bala, mengkisahkan bagaimana kesepakatan adat antar rumpun, yang dulunya bersengketa, menyelenggarakan bersama ritus pemakaman leluhur Wa' Lupang(Bota' Taneng Lia rian Moi Lating), sebagai seremonial simbol perdamaian untuk mengakhiri sengketa klaim-mengklaim. Sementara Tokoh senior Moi Maring, mengkisahkan bagaimana persepakatan damai antar rumpun dengan kesepakatan, untuk tidak mengungkit-bangkit lagi, kisah-kisah buram yang sudah dikuburkan bersama, atau dalam istilah Kedang, disebut, Lulun loman laman laleng, Lepi' Letu' Leteng ubeng. Kara mara tua' bura witing bita, se'i ahar puting oli' pireng, cuplikan singkat kata-kata Bapak Moi Maring dari rumpun Beni Dau, kampung Leutubung. Episod sengketa dan berdamai sebagaimana tutur-tokoh-tokoh adat ini, terjadi jauh sebelum berdirinya Empayar Kedang dan dikuatkan kembali oleh Rian Bara' Kedang dalam kearifannya mendeklatasikan 44 kampung di Kedang(Tuba' Leu). Selain kisah- kisah perdamaian ini, adapun kisah sejarah lainya yang menguatkan argumentasi, bahwa, wilayah hamparan Bean hingga Tobotani telah dimiliki perindividu atas kemenangan politis yang mengakhiri semua kisah sengketa dulunya, dalam bingkai Sayin Tua' Teda' bayan wa' miwa'(Kesepakatan Mubesrata Kedang 1961).  Faktanya hari ini, hampir seluruh hamparan yang diklaim penguasaan oleh rumpun tertentu saja, justru sudah diterokai dan dikuasai atas nama orang-perorangan jauh sebelum Mubesrata Kedang 1961.  Kesimpulan besarnya adalah, sengketa penguasaan diwilayah tersebut, tidak akan berakhir, jika masih ada rumpun yang terus melangkahi kesepakatan adat (Sayin bayan) atau gambaran tindakannya itu, dalam istilah lokal disebut Lata' Sayin. 
Dalam perjalanan penelusuran titik-titik wilayah yang kerap menuai sengketa, dapat digarisbawahi bahwa, wilayah-wilayah terkait, pada dasarnya adalah area perhelatan zaman Nomaden, antara rumpun-rumpun yang turunan asli Uyelewun dan rumpu-rumpun yang awal kehadirannya dianggap bukan asli atau yang berekspansi datangnya dari laut dan menguasai beberapa area pantai.  Untuk hal ini, mestinya dicatat dengan sadar, karena potensi persengketaan zaman Nomaden, bisa saja marak kembali, jika politisasi penguasaan yang tidak mengindahkan kearifan leluhur, terus digulirkan.  Sedangkan pada wilayah penguasaan Duli yang dikuasai atau klaimnya turunan berpautan pada leluhur Uyelewun, pada umumnya, sangat sedikit terjadi persengketaan.  Pada Wilayah Duli Peu Uma, Belutowe dan Benihading, dan Duli dalam penguasaan turunan asli uyelewun lainnya, justru metode damai dan arif sebagaimana amanat kearifan leluhur terus dihargai dan ianya aman-aman saja, bagi rumpun-rumpun yang berkaitan diatasnya.  Ada yang diagihkan dengan mengacu pada Sayn bayan Tua' Teda' Wa' miwa', dan adapun yang diagihkan dengan merujuk pada kearifan-kearifan leluhur yang masih kuat diakui.
Atas pengalaman lapangan seperti ini, penulis coba melakukan analisis pada area- area yang kerap terjadi politisasi penguasaan, untuk mencari alasan sebab mushabab yang lain. Mengapa politisasi penguasaan ini, tidak berakhir...? Biang kerok apa yang menjadi latarbelakangnya..?

TITIK PALING RENTAN TERJADINYA
KONFLIK-KONFLIK KLAIM PENGUASAAN
....mulai dari era 1986....
............ ............ ............ .............. .........
Sebagaimana diketahui, sekitar tahun 1986, komunitas Kedang, baru perdana dikejutkan oleh wacana Tambang Emas dititik-titik tertentu di Kedang.  Masyarakat lokal yang selama ini, memandang bukit-bukit gersang itu, sebagai lahan terbuang, mulai tergerak hatinya untuk mengklaim dan menampilkan kekuasaannya atas calon-calon area Tambang tersebut. Konflikpun tidak dapat dihindari, kendati tidak marak dan merambat, tetapi ianya ibarat api dalam sekam. 
Pada waktu itu, Pemetintah dan Calon Investor, mencari tahu, siapa yang merupakan pemangku penguasaan atas area-area tersebut. Alhasil, terjadilah kebangkitan baru, rumpun tertentu, yang berupaya mempolitisir sejarah, untuk mendapat pengakuan penguasaan atasnama mereka. Nah, dengan demikian, komunitas Kedang pada umumnya, secara tidak sadar, terseret dalam arus modus operandi perampasan, yang dimaikan oleh Pemda dan Investor. 
Sebagaimana ditemukan dalam catatan harian para pejuang, dan tutur-tutur bijak para tokoh adat, semenjak saat itu, mulai ada politisir pergeseran istilah, Duli wala menjadi seolah-olah Uhe Wala. Sementara penguasaan wilayah hidup atau Duli itu, tidak identik dengan penguasaan atas Uhe.  Apa motivasinya..? Motivnya adalah, Uhe itu identik dengan mineral berharga dalam perut bumi. Artinya, mengklaim sebagai Uhe wala, samahalnya menjadi penguasa atau pemilik utama atas kandungan mineral emas atau logam berharga, yang pada mestinya adalah Kuasa keramat dan Sakral, milik seluruh komunitas Uyelewun, sebagaimana doktrin Keyakinan lama Kedang.
Menemukan alasan ini, penulis, memberanikan diri untuk menuliskannya dalam catatan-catatan pemikiran dan terus menelusuri setiap kejadian sengketa dari tahun ke tahun. 
Kegairahan menguasai harta karun di Kedang, tidak saja menjadikan segelintir masyarakat lokal lupa daratan, tetapi juga membangkitkan nafsu para Investor yang berusaha hendak menguasai lahan area potensial tersebut.  Propaganda tidak berhenti pada hengkangnya PT NUSA LONTAR MAINING, akhir tahun 1980-an,  tetapi terus berlanjut, seiring pergantian tampuk pemerintahan di Kabupaten Lembata.  Yang lebih fatal adalah, ketika Pemda sekaligus Investor atau agen-agen investor. 
Politisasi penguasaan terus disuntik dengan beragam pola. Jika didudukan kembali runutan sejarah peradaban secara jujur, tentu saja dapat meminimalisir potensi sengketa klaim penguasaan. Namun yang sangat kelihatan adalah, propaganda politik yang dikemas rapi, dengan strategi menenggelamkan issu Mubesrata Kedang 1961.  Fakta sejarah Penguasaan Lahan paling akhir ini, Sayin Tua teda' wa' miwa', sengaja tidak dikonsolidasikan dengan terbuka, demi memenangkan klaim-klaim yang cenderung dipolitisir. 

FENOMENA ANCAMAN KONFLIK 
KEPENTINGAN SEMESTA KEDANG.
......bukan sekedar persepsi......
................ .........   ......... ............ ............
Kemasan rencana Investasi Tambang, dapat diduga, kini cuma berubah warna kulit bungkusannya.  Pemda Lembata secara masif menggulirkan skala prioritas pembangunan daerah, dengan rencana pengembangan Wisata.  Dan tak dapat dihindari, areal hamparan Bean hingga Tobotani yang kaya kandungan mineral dan memilki keindahan pantainya, kembali jadi lokus sengketa, setelah konfrontasi rencana Tambang Lembata 2016-2010.  Ianya akan semakin beresiko tinggi,manakala skenario konflik itu, diduga sengaja didesain oleh pihak penguasa pemerintahan atau pihak-pihak yang punya nafsu bisnis terselubung.  
Adapun keraguan besar, tersirat dihati masyarakat, akan ketulusan pemerintah mendorong investasi wisata, yang mana nampak kecenderungan untuk mengusai aset-aset potensial atasnama pihak tertentu.  Fenomena yang mengkhawatirkan ini, telahpun menuai perlawanan dari masyarakat pemilik lahan disekitar calon area wisata.  Apakah mungkin, investasi ini, digerakan berbasis masyarakat, dengan melibatkan masyarakat lokal yang bersentuhan langsung, secara utuh dan berdaulat....? Pertanyaaan ini, masih belum dapat dijawab. 
Berangkat dari keraguan-keraguan ini, masyarakat lokal Kedang, tidak harus pasrah dan terus dikibuli. Apalagi dengan mudah terseret dalam strategi adu domba.  Tulisan ini, sengaja dipublikasikan untuk mencoba menggulirkan pikiran positif untuk mementingkan persaudaraan dengan menempatkan kesatuan etnis Kedang, sebagai khazanah berharga, yang mesti dilestarikan secara berkelanjutan. 
Sebagaimana ulasan terdahulu, penulis telah menemukan alasan-alasan besar, dengan muatan kepentingan kalangan berUang, yang sekian dekade berusaha menciptakan kondisi tidak kondusif di Kedang, demi nafsunya akan harta karun yang terkandung dalam bumi adat Uyelewun. 

LESTARIKAN SEMANGAT PEJUANG
SAYIN BAYAN TUA' TEDA' WA' MIWA'
....Para Pahlawan yang terlupakan....
............ ............. ............... ............. ..........
Menelusuri setiap carikan kisah yang tercecer, tentang riwayat perjuangan guru-guru Katholik dan Imang Gilo Cs, baru ditemukan sebuah rahasia besar yang terdesain secara sistematik selama ini, dan mungkin akan terus berlanjut.  Segelintir kalangan rumpun Kedang, yang semestinya telah bersatu dan kokoh diatas fondasi kearifan leluhur turun temurun, pelahan namun pasti, terus menularkan cara pandang feodalisme, untuk mengembalikan dan mengaktualisasikan keabsahan penguasaan secara sepihak.  Hal ini, dapat dilihat nyata pada skenario pengklaiman penguasaan yang sudah tidak zamannya, terus digulirkan kembali. 
Sebagaimana catatan usang Opa Guru Miteng Buyanaya, semangat perjuangan kesetaraan diera akhir era 1950-an, semestinya, baru mendapat ruang dan peluang, tatkala lahirnya Aturan-aturan Pokok Agraria 1959 dan baru diUndangkan pada tahun tahun 1960. Peluang ini, dimanfaatkan dengan sempurna untuk melahirkan Mubesrata Kedang, Januari 1961.  Tentu saja hasil dari Mubesrata 1961 ini, tidak saja, tidak menyenangkan hati pihak-pihak yang masih punya keinginan berkuasa, tetapi juga membatasi peluang untuk pihak rumpun tertentu mengaktualisasikan diri, atau dengan kata lain, mengambil kesempatan untuk secara politik, hendak bangun jadi penguasa baru di Kedang.  
Klaim penguasaan ala Nomaden di area wilayah tertentu, tidak bisa disamakan dengan metode pengagihan arif yang dihormati di area wilayah lainnya.  Toh, semangat kebersamaan sebagaimana tutur-tutur lama, satu dan lainya tentu tidak serupa.  Dengan demikian, semangat Mubesrata 1961, mengakomodir dan menghargai metode pengagihan lahan olah dan lahan huni, yang mendapat pengakuan bersama antara rumpun-rumpun yang berkaitan di area wilayah yang notabene penguasaan atas trunan asli Uyelewun dan menegaskan, untuk mengakhiri konflik berkepanjangan yang terjadi pada area wilayah lainnya yang merupakan turunan sengketa warisan dari zaman ke zaman.  Menyelami dua kategori area wilayah penguasaan diatas, akan dipahami bahwa, sebenarnya, semenjak dahulu-kala, ada area Duli atau wilayah hidup yang dikuasai dengan damai, sebagaimana amanat kearifan leluhur, dan ada juga area wilayah, yang menuai konflik dari zaman ke zaman, sebagaimana dialami pada area wilayah yang jadi perebutan orang-orang asli dan pendatang, versi Nomaden.  Dari pendasaran ini, penulis meng-persepsi-kan, bahwa bukan tidak mungkin, akan terjadi kembali kisah-kisah suram sejarah, yang semestinya harus dikuburkan selamanya(Loman laman Lamang laleng, Letu' Leteng Ubeng), jikalau politisasi sejarah penguasaan lahan tanah, terus digulirkan hanya demi kepentingan pihak-pihak Modal dan Kekuasaan.  Upaya profokatif dan adu domba dari pihak-pihak yang berkepentingan atas aset potensi bisnis ini, tidak akan mengoyahkan semangat kesatuan Kedang, jika orang-orang Kedang sendiri tidak tergoda oleh imingan dan janji-janji palsu pihak berUang dan Kuasa.  
Pesan-pesan para pejuang kesetaraan yang terbaca dalam tutur riwayat juang mereka, cuma menitipkan satu harapan. Bahwa Etnis Kedang yang bukan semata turunan Uyelewun, tetapi juga "mungkin" dari lapisan etnis lainya, adalah orang-orang Kedang yang bersatu dan damai mendiami hamparan dikaki gunung Uyelewun.  Buang cerita lalu yang berpotensi memecahbelahkan komunitas. Sudah cukup dengan sekian abad, terporak-poranda oleh hukum Rimba dan perang saudara. Jangan hidupkan lagi semangat feodalisme di Kedang. 
Demi kedamaian dan keharmonisan berkelanjutan, perlu dihayati kembali beberapa amanat leluhur, yang dominan direkam, dikala bertandang ke para tokoh-tokoh adat.  Penulis telah bertemu dengan sekian banyak sumber, tokoh-tokoh tua di Kedang, beberapa tahun terakhir,  dalam menjalani upaya penelusuran sejarah tutur terkait, penguasaan lahan tanah di tanah adat Kedang.  Sebagai orang-orang tua yang bijaksana, tentu berkomentar yang sama.  " Tempatkan kepentingan kekerabatan dan persaudaraan komunitas Kedang, diatas segala kepentingan pribadi maupun golongan.  Lahirkan kearifan-kearifan baru, sebagaimana amanat leluhur".  
Membaca desain kepentingan besar yang sedang bermain di air keruh, sebagai generasi penerus, penting menyimak lebih teliti, argumentasi- argumentasi propagan profokatif yang sedang dan akan terus digulirkan untuk merusak tatanan kekerabatan yang telah ditanamkan oleh leluhur. 











 


 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....