@Pelaut Lupa Daratan# Eksplorasi Budaya dalam "Sare Dame", mengail di air keruh.........! "Mariiii berdebat..!"

Tidak patut di diamkan, jika pesan dan kritik dipleset oleh pihak-pihak yang "katanya" kaum intelektual.  Sebagai salah seorang pengkritik ivent Eksplorasi Budaya/Sare Dame, kami memandang penting untuk mengkanter argument-argument yang dipandang semakin menyesatkan. Apalagi argument tersebut datang dari kaum yang dipandang oleh masyarakat lokal sebagai kaum intelektual. 

Kaum intelektual, baik mahasiswa, Sarjana, Guru/Pegawai, bagi masyarakat lokal Lembata, telah ditempatkan sebagai kaum yang patut di dengar ( panutan). Namun dalam soal Sare Dame, "ada" kaum ini, yang cenderung berpikir karut dan tidak berbobot. Patut di duga, mungkin ada udang di balik batu..?

Kemudian baru diendus, ada dugaan, dibalik konsep Sare Dame yang sedang digelar di seantero Lembata hari ini, ada kalangan akademisi Lembata, yang bertugas di luar Lembata, mungkin saja turut menunggangi agenda besar dan abal-abal ini. Apakah karena ada 2,5 miliyar...? Ahhhhh...

Dalam kaitan dengan perbedaan cara pandang, pertentangan kepentingan antara pemerhati masyarakat adat dan cara pikir Pemerintah Daerah Lembata, adalah hal yang "wajar ada" dalam dunia yang multi kepentingan ini.  Ending akhirnya akan terlihat di akhir atau hasil dari ivent Sare Dame ini nanti.  
Bahwa, kritik dan protes dari kalangan tertentu, pasti berdasarkan urgensial kepentingan masyarakat adat hari ini dan ke depannya.  Sementara, ke-getol-an Pemda Lembata yang tutup mata dan telinga, akan semua saran dan kritik pun, tentu saja punya alasannya sendiri. Mungkinkah kita sama...? Kita lihat pada hasilnya nanti.

Menyimak pandangan saudara Dr Hipolitus K. Kewuel, melalui nttsatu.com, 04/02/2020, kami perlu mengklarifikasi beberapa hal..
Yang pertama, soal indikasi penghamburan uang rakyat 2,5 miliyar. Bahwa yang namanya pembangunan tentu di sana ada pengorbanan biaya. Namun dalam hal Sare Dame yang adalah kembar beda warna sebagaimana Festival 3G dan ivent- ivent sebelumnya, anggaran 2,5 miliyar itu, akan lenyap pada anggaran makan minum, perjalanan dinas, akomodasi kegiatan dan lain-lain belanja habis pakai. Toh, cuman buat rencana biaya, cari macam-macam ritual adat yang bisa dibuat, dan tari-tarian, acara penyambutan Bupati, dan dokumentasi kegiatan. Desain kegiatan semacam ini, tidak jauh bedanya dengan mengelolah sebuah program pada LSM Mondial. Waooo.. Pemerintah Daerah bukan pelaku LSM Mondial toh...?
Yang kedua adalah, soal cara pikir pemberdayaan. Bahwa saudara Hipolitus, mendefinisikan Pemberdayaan dalam konteks Sare Dame yang sedang berlangsung ini, dengan cara pandang yang dangkal dan sempit. Pemberdayaan dalam praktek sebenarnya, bukan atur acara penyambutan, kumpul orang rame-rame buat ritual yang bukan saatnya, gembleng anak-anak sekolah untuk pentas-pentas untuk buat suasana menarik, lalu di-video-kan, dan unggah ke dunia maya. Hhhhh..cara pikir jenis apa ya..?( baca di; nttsatu.com, 04/02/2022).

Saudara Hipolitus K. Kewuel, mungkin harus belajar lagi tentang apa yang sedang dan harus dilakukan, jika kita berniat untuk membangun masyarakat dan adat budayanya secara berkelanjutan. Sesungguhnya, adat atau keyakinan Lama, yang dianut oleh masyarakat adat itu, sudah sangat arif mengajarkan kehidupan yang damai (Dame) dengan alam. Yang harus dipahami mestinya, mengapa doktrin agama, pengetahuan dan adat yang menegaskan resiko kehancuran kekerabatan dan alam, masih segar dihidupi tetapi alam terus rusak dan hancur...? Apakah dengan menggelar ritual yang kemudian di publikasikan, alam akan kembali hijau dan air sungai akan kembali deras mengalir seperti dulu...? Atau, apakah sungai-sungai ini kering karena belum ada dana 2,5 miliyar..? Ahh..jangan karut pak Doktor. "Reaksi-reaksi yang muncul di seputaran anggaran gerakan Sare Dame ini, menunjukan dengan jelas paradigma berpikir yang belum berkembang, bahkan masih teguh memperlihatkan pola kerja lama yang berlawan dengan paradigma berpikir pemberdayaan." Demikian pernyataan Saudara Dr Hipolitus K. Kewuel(nttsatu.com, 04/02/2022). 

Sungai dan alam ini akan pulih dalam masa yang sangat panjang. Hal ini akan terwujud jika dari sekarang Pemerintah Daerah dan Masyarakatnya,  mesti merobah desain pembangunan dan kehidupan yang selaras alam. Penting ditegakan dengan benar Undang-Undang maupun Perda-Perda yang mengatur soal Keselamatan Lingkungan dan Ekologi. Modus-modus operandi bisnis kapitalis perlu dihapuskan dari agenda bisnis Dinas-Dinas yang mengatur kehidupan dan cara hidup masyarakat Tani. Sediakan ruang yang bebas dan terlindungi, bagi segala kearifan adat dan budaya itu untuk hidup dan merasuk setiap generasinya.  Perkaya pengetahuan Mulok untuk anak-anak sekolah yang harus  barengan dengan kehidupan sosial orang tua yang mengedepankan etika adat budaya.  Dengan demikian ivent Eksplorasi Budaya tidak dipandang abal-abalan, dan meng-ada-ada.

Kami sangat berterimakasih pada Saudara Yohanes Sudarmo Dua, yang telah meng-kritisi kembali pandangan Saudara Hipolitus K. Kewuel lewat AksiNews.id, 07/02/2022. Saudara muda yang akrab di panggil "Darmo' ini, bukan kaleng-kaleng kalau di nilai dari latar belakang ke-ilmu-annya. Beliau mempertanyakan kembali apa makna Sare Dame(kata) dalam konsep Eksplorasi Budaya kali ini. Judul tulisannya " Eksplorasi Budaya dalam Sare Dame atau Sare Dame dalam Eksplorasi Budaya(AksiNews.id.07/02/2022). Pandangan saudara muda, 'Darmo' dapat kami nyatakan sebagai mewakili kegundahan kami. Bahwa, yang diharapkan oleh masyarakat adat bukan kegiatan hura-hura dengan menghambur uang rakyat.  Kami, masyarakat adat merindukan, kapan datang saatnya untuk kami dibiarkan hidup bebas memiki dan du dukung secara otonom dan diakui eksistensi kami. Masyarakat adat tidak terperangkap lagi dalam agenda pembangunan yang diskriminatif. Ritual-ritual adat kami tidak dijadikan aset propaganda semata, tetapi ianya harus dihargai sebagaiman penghormatan akan tradisi ritual ke-agama-an yang ada. "Jangan jadikan masyarakat adat, ibarat ikan yang diajar berenang".  Kami sadar, dan sangat yakin akan apa yang kami hidupi. Dan keyakinan ini, dipertahankan dengan sangat susah payah.  Keyakinan Lama pada umumnya, dipandang sebagai aliran atheis(kafir) oleh kalangan agama samawi. Pandangan sebagai "kafir" ini, tidak bisa disangkal, ada di antara kalangan pegiat Sare Dame hari ini.  Lalu, apa faedahnya, kalau orang yang kurang percaya menggelar ritual yang sangat diyakini sakral oleh orang lain..? Keyakinan Lama, yang hari ini dipleset dengan nama adat istiadat itu, butuh sentuhan, penggenerasian atau peremajaan, dan dukungan tulus Pemerintah Daerah.  Masyarakat adat ini, bukan "boneka" yang bisa diperankan kapan saja kalau Pemda Lembata membutuhkannya. "Miriiis"  dan memalukan...!!

Saudara Hipolitus K. Kewule, sebaiknya melakukan terobosan akademik yang bernas dan populis. Bukan semata berkatut soal urusan utak-atik nomenklatur dan anggarannya. Dengan kata lain, jika saudara Hipolitus K. Kewuel masih beranggapan bahwa para pengkritik itu masih menganut pola kerja lama yang tidak memiliki paradigma pemberdayaan, maka, pola kerja, pola pikir dan paradigma yang anda pertahankan dalam Sare Dame kali ini, tidak ubahnya sebagai paradigma berpikir seorang akademisi yang lupa daratan. 

Ulasan ini, dimaksudkan untuk meluruskan cara pikir yang masih bengkok, terkait kritikan dan tanggapan kalangan tertentu, yang kurang sepakat dengan desain kegiatan pada ivent Eksplorasi Budaya versi Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday, terkhusus beberapa ritual adat yang kami pandang cukup Sakral dan Keramat. 

Jikalau ada pihak, merasa dirugikan dengan adanya ulasan ini, kami siap untuk berdebat terbuka maupun konsekwensi lainnya.  Kami hanya mau berpendapat sebagai salah seorang penganut Keyakinan Edang Wela, yang mungkin mewakili sekian banyak penganut lainnya yang berpandangan sama.#UbuQ/13/Feb..#





Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....