#obrolan tepi Wadas# Edang Wela, sebuah Agama Bumi...??????

Kedang (edang), adalah nama komunitas adat yang mendiami antero kaki gunung Uyelewun, di wilayah timur Pulau Lembata. Komunitas adat ini, dapat dibilang komunitas adat paling kecil  di Indonesia, namun merupakan komunitas yang cukup besar di Pulau Lembata. Dengan populasi, nyaris mendekati seratus ribu jiwa, komunitas ini masuk dalam ranking jumlah pemilih terbesar di Kabupaten Lembata. Tidak heran, kalau kemudian para figur-figur politik sangat memperhitungkannya.
Nama Uyelewun sendiri, diyakini berasal dari nama leluhurnya Uyo Lewun, yang menurunkan komunitas ini. Tidak mudah, menghitung, kapan era kehidupan seorang Uyo Lewun. Namun generasi asli Kedang hari ini, yang kuat dengan budaya tutur, dapat menghitung silsilah turunannya di masing-masing kampung dan marga hingga sampai ke leluhurnya Uyo lewun. Bisa saja, dari panjangnya silsilah, dapat dihitung, kapan atau sekitar zaman apa, leluhur Uyo Lewun ini hidup.  Ada pun beragam versi tentang panjangnya silsilah setiap rumpun atau orang, iannya berkisar tiga puluh lima hingga empat puluh lapis turunan atau lebih,  sampai ke Uyo Lewun. 

* Agama bumi.
Jika ditelisik lebih dalam, dapat disimpulkan bahwa, komunitas Kedang turunan Uyo Lewun, pada awalnya memiliki sebuah keyakinan atau agama bumi, yang disebut Wela atau Edang Wela. Penulis telah menelusuri dan menulis hampir seluruh tatanan keyakinan ini, baik tata etika, tata susila, tata kekerabatan dan persahabatan, tata hidup selaras alam, dan banyak sekali doktrin dan dogmanya. Meski hakekatnya semua itu, awalnya tidak tertulis, namun budaya tutur yang diwariskan ini, dapat dijadikan bukti, karena telah banyak berkobtribusi pada napak tilas yang dilakukan, hingga melahirkan ulasan ini. 
 Percaya tidak percaya, larangan-larangan dalam doktrin keyakinan Edang Wela, masih hidup dan masih dianut oleh sebagian besar komunitas Kedang hari ini(termasuk penulis sendiri.) Tak dapat dihindari, kalau Keyakinan Lama ini, cenderung tergerus dari zaman ke zaman, karena hadirnya pengaruh budaya dan peradaban luar, juga karena doktrin-doktrin agama samawi(Islam dan Katholik). Dari pergeseran budaya yang tidak bisa dihindari, nama Agama Bumi ini, berangsur hilang dan  berubah nama hari ini yang dikenal sebagai adat-istiadat Kedang. 

*  Uhe ara niku niwang.
Sebagaimana doktrin Keyakinan Lama Edang Wela, diyakini ada sebuah kuasa yang menghidupkan dan melindungi, yang tahta dan wujudnya sangat suci dan Ilahi, yang bersemayam di dalam perut bumi. Ianya berkuasa, memberikan kehidupan, bagi alam dan manusia. 
Kata "Uhe atau "ara" secara harafiah identik dengan serat atau bagian yang paling keras, yang letaknya paling dalam pada batang tumbuhan(misalnya).  Keyakinan Edang Wela, mengajarkan lapisan yang kuat dan keras itu ada dalam perut bumi. Karena keyakinan akan keMahaannya, mka dijuluki sebagai "kepa kire' wahin sara, Mole eru" ha'i longo'.  Tidak dapat dibayangkan betapa suci dan mulia nama dan wujudnya..! Ibarat indahnya emas permata dan kuasa kemuliaannya sebagai wujud Ke-Ilahi-an nan kudus dan maha Kasih.
Agama bumi, Edang Wela, percaya dan mengakui ada kuasa ke-Ilahi-an, yang tidak dapat dinamakan dan disamakan dengan nama manapun. 
Dalam kesatuan dengan Uhe ara,  agama Bumi ini, menggambarkan Kuasa Ke-Ilahi-an itu, umpama keindahan bulan dan dasyatnya keagungan matahari(Wula Loyo). Kuasa Ke-Ilahi-an inilah, yang tidak dapat dipahami oleh pikiran manusia inilah, yang dipercayai menciptakan alam semesta(gambaran sang Pencipta). Demikianlah kuasa yang menghidupkan yang ada di dalam perut bumi inipun, tidak dapat dibayangkan kekuatan dan kesakralannya ( Kepa Kire' Wahin Sara, Mole eru' Ha'i longo'.) Elok rupawan dan perkasa dan agung, mulia, jikalau ianya pemuda atau seorang bapak dan cantik, anggun dan penuh Kasih nan suci jikalau ianya seorang gadis atau seorang ibu (ilustrasi penulis semata karena keterbatasan kata). 
Doktrin agama bumi Edang Wela, mewajibkan semua insan yang hidup di atas bumi, menghormati dan menyembah, takut akan larangan-larangannya, patuh pada segala kehendaknya, jikalau hendak hidup baik, aman, dan sehat sentosa(kara kuru luta, kara luta uhe, kara emi iring ma'o malong, kara wei' nanan dadi dara, kara kati edu be' rahi' dll).  Adapun larangan atau doktrin-doktrin di atas diharamkan pada wilayah Duli/Pali(bagian wilayah yang dikhususkan untuk mencari penghidupan) atau wilayah Api mate padu rukeng. Oleh karena itu ritual iu uhe bei ara(misalnya) pada umumnya dilakukan di atas wilayah Duli. 
Untuk diketahui saja, bahwa berkaitan dengan pembagian wilayah hidup, agama bumi Edang Wela, mengharuskan untuk wilayah pemukiman atau kampung dipastikan tersendiri dan wilayah pencarian penghidupan tersendiri. Bagi orang asli Kedang, tentu saja memilki kampung adat(Leu atau api bita padu era), yang berbatasan dan bersambung ke wilayah Duli(api mate padu rukeng).  Penguasaan wilayah Duli, sangat berhubungan dengan perjuangan penguasaan di zaman Nomaden(Dorong dope', sahu' awu' bote lapa'), sekian abad yang lalu. .   Mengulas soal tradisi pembentukan kampung adat akan dibahas di edisi berikut. Penulis mohon maaf....!! Yang unik dan wajib hukumnya dalam Keyakinan Edang Wela adalah, "uhe ara niku niwang tidak bisa dimiliki ole orang perorangan atau rumpun.  Yang dapat dimilki atau diklaim adalah Duli ria pali Kedeng(wilayah hidup dan lahan tanah).  Uhe ara niku niwang hanya ada satu nama, yang diyakini mengayom dan menghidupkan semua makhluk di atas tanah Kedang.  

Catatan kecil...!
Bahwa akhir-akhir ini, komunitas rumpun tertentu mengklaim diri sebagai pemangku Uhe ara, yang diidentikan dengan ulayat.  Ini keliru besar dan bertabrakan dengan keyakinan Wela.  Yang bisa di klaim itu namanya duli/pali, atau segala sesuatu yang kasat mata, atau lahan hidup manusia, bukan Uhe ara niku niwang".
Catatan ini, ditulis untuk mengingatkan saja, bahwa konfilk ulayat atau hak penguasaan atas wilayah hidup di Kedang yang sedang terjadi terpicu karena 'orang baru menyadari bahwa yang disebut Uhe ara itu adalah emas dan mineral yang terkandung dalam bumi Kedang. Dengan demikian mem-plesetkan kata duli menjadi sama dengan Uhe, semata bertujuan untuk mengklaim diri sebagai penguasa tunggal kekayaan dalam perut bumi Kedang."  Percaya tidak percaya...? Buatlah kajian sendiri.


* Percaya adanya Sang Pencipta(Wula loyo ero awu', Uhe ara niku niwang, popo' libur atedi'en, Lia hura' manu'sia.)
Dari ulasan sederhana di atas, dapat disimpulkan kalau, Agama Bumi Edang Wela, meyakini keAgungan dan Kuasa Sang Pencipta.  Gambaran wujud Ke-Ilahi-an Pencipta diibarat setara tata surya dan alam semesta(Wula loyo ero awu', uhe ara niku niwang). Gambaran kuasa pen-cipta-an manusia digambarkan dalam kiasan(popo' libur atedi'en, Lia hura' manu'sia.)  Sedangkan gambaran menghidupkan dan melindungi (Uhe ara niku niwang, pere taku mame lua, saka lamang wiring warang pu'en wua lolo' were, ola mura la' noren, dst.)
Dari keyakinan yang kuat inilah, Keyakinan Edang Wela, mengharuskan untuk selalu dilakukan ritual kesyukuran(iu uhe bei ara,) ritual pertobatan ( kolo' umen bale lama' huba' mur bare ale) dan banyak lagi ritual-ritual lainnya yang berhubungan dengan kuasa ke-Ilahi-an uhe ara niku niwang.) 
Untuk memuliakan kebesaran Sang Pencipta, dan kesyukuran akan rahmat dan pertobatan atas salah dan dosa, serta permohonan kesehatan dan memohon kesembuhan, agama bumi Edang Wela, mengharuskan berbagai ritual atau ibadah-ibadah(Ong keu wile do'/ong bahe tupu tein mawu dewa', huba' mur bare ale be awu' puting ero maren, toba maring wula loyo, bela nunu kame wowo, ita' nuta' bela tuan, koro' wei' bele nanan, dll.)  Ritual atau ibadah tersebut di atas dan banyak lagi ritual khusus, hanya dapat dilakukan di pusat ritual yang disebut Leu Tuan atau Tuan Leu(tempat sakral para leluhur) atau di rumah sendiri(pemukiman.)

* Tata sosial komunitas
Sebagaimana banyak keyakinan yang lain, agama bumi Edang Wela,  secara tegas dan keras, melarang perilaku hidup yang merugikan alam dan sesama.  Edang wela, mewajibkan setiap manusia, hidup dan mencari penghidupan sesuai kehendak alam. Hukum-hukum kehidupan dalam Edang Wela, mewajibkan untuk saling menghargai, saling membantu, menghargai status kekerabatan, menghargai hirarki keturunan.  Sangat dilarang mencuri, menipu, berdusta atau bersaksi palsu. Dilarang membunuh, dilarang menganiaya dengan kekuatan ilmu hitam, dan masih banyak lagi.  Singkat kata, hukum-hakam agama bumi ini, mencakup segala sesuatu yang baik dan penuh Kasih. Sebagaimana sebutan larangan-larangannya(kara awe wunu pake ele, kara tika bete hari' pate wei' nanan dadi dara, kara puer kolo' loko lowi', kara ula' nute dae toye' koro' wowo bakil eu', kara nili' mati' keba depi, kara seher doti hokor huang dan banyak lagi larangannya)

* Dari Edang Wela, menjadi adat budaya Kedang.
Menjadi hal yang lumrah, dimana sebuah tatanan peradaban berubah atau terkikis, seiring perkembangan Zaman. Demikian juga yang terjadi pada Keyakinan Lama Kedang ini.  Diperkirakan sebelum masuknya agama samawi di Kedang, kira-kira tahun 1900-an, masyarakat Kedang pada umumnya masih hidup dengan menganut keyakinan Wela, sebagai satu-satunya penata kehidupan individu dan  sosial komunitas pada umumnya.  Ianya tergerus seiring waktu, hingga pada zaman milenial, penganut keyakinan ini tinggal sedikit jumlahnya. Itupun dapat dikatakan penganut keyakinan ganda, karena seluruh masyarakat Kedang hari ini, adalah penganut agama Katholik dan Islam. Kendatipun demikian, praktek2 doktrin Keyakinan agama bumi ini, dapat ditemukan masih sangat kental, terutama di kampung-kampung bagian pedalaman. 
Seiring berganti waktu, agama bumi ini, masih nampak ada di seluruh Kedang, terutama beberapa doktrinnya, yang berhubungan dengan tata hidup berkomunitas, kekerabatan dan etika-etika sosial. Serpihan-serpihan keyakinan Wela yang masih nampak ini, kemudian dipetakan sebagai ciri khas orang Kedang, yang lazim disebut Adat-istiadat atau adat budaya Kedang.
Contoh-contoh tatanan adat yang dominan masih di lestarikan hingga saat ini, diantaranya, uang bele ke' pae, ine ame binen ma'ing, epu pu'en bapa matan, epu utun ana' ma'ing, eru ana' kangaring, ebe nerung are' nore' dan ketentuan tata sosial lainnya. Sementara berkaitan dengan keyakinan akan kekharismaan, dan kesakralannya(praktek ritual dan ritus penyembahn, dapat ditemukan di kalangan rumpun atau kampung tertentu saja.
Adapun ketentuan- ketentuan yang disiratkan dari penghayatan keyakinan Wela, yang diyakini berpotensi besar untuk sebuah keharmonisan hidup, hingga hari ini adalah, a uda tin doha, tangen ude' ne'e ta'n rei te'e,  nimon oi palan kare, erung nerung bore' nore', roho oba' soba' sayang, puring ling barang lei, inga' nute tau' toye', tubun upal tawon mawu, pohing ling holo wali, dan masih banyak lagi.)

* Kearifan tatanan yang bernilai luhur.
Serpihan yang tersisa dari doktrin keyakinan Wela, yang berhubungan dengan adab-adab berkomunitas. Sudah selayaknya kearifan- kearifan itu dilestarikan dan dihidupi seterusnya. 
Bicara soal kearifan luhur tentang peradaban dalam hidup sebagai komunitas adat, yang kongkrit masih dihidupi hingga saat ini, antara lain; metode mendidik dan membentuk kesantunan ( nimon oi palan kare, roho oba' soba' sayang), pola pendidikan karakter beradab( a tutu' tin tehe', iko' dei tomo tau', tomo wowo banger eu', ino tutu' puli amo pau panang), adapun etika peradaban yang terus dijaga adalah menghargai status kekerabatan atau jejaring turunan(epu pu'en bapa matan, ine eho' ana' maing, eru ana' kakangaring, ebe nerung are' nore').  Adapun doktrin keyakinan Wela mewajibkan untuk menempatkan setiap struktur kekerabatan itu, dengan penghayatan nilainya masing-masing.  Seorang epu pu'en bapa matan, dihayati sebagai pengantara tangan Tuhan untuk keselamatan seorang ana' ma'ing.  Status kekerabatan sebagai epu pu'en bapa matan, memiliki tanggungjawab mutlak yang tidak bisa dialihkan  pada status kekerabatan lainnya. Demikian juga sebaliknya.  Epu pu'en bapa matan, mengemban tanggungjawab besar, seiring dengan penghargaan dan penghormatatan yang besar. Yang paling dituntut dalam keyakinan Lama Kedang, adalah dalam soal kedukaan. Dimana pihak epu pu'en bapa matan, mempunyai kewenangan mutlak untuk memberikan berkat akhir atau restu pelepasan untuk ana' ma'ing nya yang meninggal dunia(nuta' tuben lala, tari' niong uli').  Demikianlah hakekatnya, tradisi pemakaman Kedang, tetap menjaga kewenangan-kewenangan ini, hingga hari ini. Perjalanan yang terang dan mulus ke akhirat sangat ditentukan oleh ada tidaknya kehadiran dan keterlibatan epu pu'en bapa matan. Demikian juga, dalam hubungan dengan kesehatan dan keselamatan semasa hidup seseorang, doa dan restu epu pu'en bapa matan, merupakan hal yang mutlak. 
Doktrin Keyakinan Lama Kedang ini, mengajarkan kepada setiap orang untuk menghormati dan mengangungkan epu pu'en,  karena penghayatan akan kerahiman seorang ibu yang melahirkanya. Kerabat keluarga ibu inilah yang menyandang status sebagai epu pu'en bapa matan.  Status ini sangat berbeda dengan pengertian tentang strata dan jauh berbeda dengan Kasta.  Keyakinan Edang Wela, mengajarkan dengan sangat tegas, penghargaan yang tinggi akan epu pu'en bapa matan, karena kemuliaan perempuan yang melahirkan turunan itu sendiri.   Dengandemikian, wajib hukumnya,  keluarga ibu (orang tua dan saudara laki dan anak-anaknya) mendapat tempat istimewa dalam struktur sosial kekerabatan.  Seorang turunan Uyelewun, sangat percaya kalau epu pu'en merupakan wujud kasih Ilahi yang hidup di dunia. 

* Beberapa Ritual keyakinan Edang Wela.
Jika dihayati dengan mendalam, keyakinan Edang Wela, memilika prosesi ibadah yang dapat disebut ritual-ritual.  Prosesi ritus yang mecakup semua unsur kehidupan ini,  merupakan tanda pertobatan dan penyembuhan bathin maupun jasmani, sekaligus merupakan  tahapan ibadah yang sangat sakral. Berikut ini, beberapa contoh ritual wajib dan sangat sakral, antara lain : 
- pating leu hering maren.
Ritual ini dapat diartikan sebagai ritual peletakan dasar pembentukan kampung adat.  Keyakinan Wela dalam doktrinya mengajarkan bagaimana kehidupan bersama dan penuh solidaritas.  Setiap kampung adat didirikan tidak semata sebagai tempat tinggal yang diberkati Pencipta  namun lebih dari itu merupakan pusat atau sumbu segala Ritual atau ibadah Keyakinan Wela. Hingga saat ini, kampung-kampung adat ini, semata menjadi pusat ritus atau tempat prasasti(lete' huna paheng ahar), mengabadikan roh dan nama leluhur, sehingga dinamakan sebagai Leu Tuan atau Tuan Leu. Leu Tuan ini dapat didirikan kecuali memilki mesbah(Lapa'), yang sejak awal mula diboyong oleh leluhur ke mana- mana, dizaman era Nomaden (zaman pindah randah).  Ada satu hal yang menjadi wajib hukumnya adalah, yang dapat membangun Leu Tuan adalah yang punya garis keturunan Uyelewun atau rumpun asli Kedang.  

* Lete' huna paheng ahar.
Ritual ini adalah wajib bagi setiap orang atau rumpun keluarga turunan Uyelewun.  Ritual lete' huna paheng ahar adalah, ritual terakhir yang dikhususkan untuk menghormati atau mengabadikan keluhuran seorang ibu.  Wanita yang melahirkan anak tanah Kedang wajib diabadikan kembali setelah sang ibu meninggal. Dalam ritual dengan menancapkan prasati kayu(uru ara), di samping sebuah mesbah(batu) yang diabadikan untuk nama suaminya, ketika keduanya sudah meninggal dunia. Ritual ini, tidak bisa digelar tanpa keterlibatan saudara mara dari sang ibu.  Inilah tanggungjawab terakhir seorang saudara laki-laki atas saudari perempuannya yang telah menikah dan berpindah ke rumah suami. Para epu pu'en bapa matan ( saudara sang ibi) bertanggungjawab menghantar roh arwah saudarinya ke peristirahatan yang sempurna. Dalam hal ini, tanggungjawab ini merupakan salah satu alasan, mengapa pihak epu pu'en bapa matan, sangat dihormati dalam tatanan lokal Kedang.
* Ritual iu uhe bei ara .
Sebagaiman disentil dibagian terdahulunya, rutual Iu uhe bei ara, adalah  persembahan korban untuk mensyukuri segala nikmat yang diberikan sang Maha Kuasa.  Yang mana wujudnya ke-Maha-an nya, di bahasakan sebagai "Kepa kire' wahin sara, Mole eru' ha'i longo". 
Pengalaman hari ini, dapat ditemukan masing-masing kampung atau individu dapat melakukan ritual ini, jikalau sudah lama mengolah lahan kehidupan doatas tanah.  Adapun aktualisasi sebagai pemangku ulayat atau wilayah hidup(duli wala) akan kelihatan pada suku atau rumpun apa yang diberi bagian ritual itu. 
Catatan kecil...
Yang menjadi ancaman keharmonisan adalah, terdapat kekeliruan rumpun tertentu yang mengklaim diri sebagai penguasa mutlak atas wilayah hidup(duli wala) sekaligus sebagai uhe wala, yang adalah wujud mistik dalam keyakinan Wela tersebut.  Catatan konflik kepentingan sejauh ini, sebagian besarnya dimainkan oleh Pemodal dan Pemerintah Daerah.  Karena kegairahan mengusai emas mineral dalam perut bumi, pemodal dan Pemda bergiat membackup komunitas rumpun tertentu untuk terus mendeklarasikan diri sebagai Uhe Wala bukan lagi sebagai Duli Wala. Hal ini kemudian dimainkan secara sistematik dan hampir saja, generasi Kedang masa kini percaya akan strategi busuk ini. 

"Meminjam kata-kata orang bijak...
Sesuatu yang salah atau palsu, jika didotrinkan secara terus menerus dalam masa yang lama, akan dianggap sebagai benar dan asli adanya."......

*Ritual oi nuren bele maren.
Kehidupan komunitas Kedang yang beradat, tentu sangat kental keyakinannya akan kuasa alam dan keterikatan hidup manusia dengan alam.  Hingga saat ini (contoh) masyarakat Kedang kebanyakan menolak untuk membunuh hama pada tanaman pangannya dengan pestisida atau insektisida. Alasannya sederhana saja, bahwa alam ini jika dihargai dan disayangi, ianya akan kembali menyayangi makhluk yang hidup darinya. Adanya penolakan akan rencana penangkaran buaya di perairan Kedang adalah salah satu doktrin Keyakinan Wela yang menjamin kebebasan dan hak hidup sesama makhluk hidup. Kembali kepada manusia yang mau menghormati hak hidupnya.  Dan fatalnya, keserakahan akan sumberdaya alam akan mendatangkan bencana dan tulah. 
Melakukan ritual oi nuren bele maren,  menjadi bukti kesadaran manusia akan hak hidup makhluk yang lain di muka bumi.  Ritual ini akan bermula dari Leu Tuan(pusat ritual) dan di lanjutkan secara bertahap di tempat-tempat yang dikeramatkan hingga sampai ke Laut. Dengan diiringi seruan dan sorakan permohonan pengampunan. 
 *Catatan kecil...
Ritual ini hanya bisa diselenggarakan oleh komunitas rumpun yang memiki tapal-tapal mesbah yang sudah dipasang sepanjang jalur dari Leu Tuan Menuju Pantai. Tapal atau Mesbah yang dikeramatkan ini tidak bisa dipasang lagi di zaman ini, karena eranya sudah berlalu. Sebagaimana kajian yang dilakukan, dapat dinyatakan bahwa, penamaan dan pemasangan tapal mesbah ritual sepanjang jalur menuju pantai ini, secara sah dipasang di zaman Nomaden(era pindah randah) dimana setiap rumpun saudara se Uyelewun saling berebutan penguasaan wilayah hidup( hukum Rimba) yang berlanjut adanya empayar Kedang.  Setelah masuk ke era negara demokrasi hingga saat ini, tapal mesbah dan penamaan situsnya tetap dihormati tetapi bukan menjadi dasar klaim penguasaan mutlak wilayah hidup atau Duli Wala.  Hal telah menjadi kesepakatan adat leluhur dalam menjamin keadilan hidup seketurunan Uyelewun, yang kerap diadu domba oleh kaum feodal, yang mengklaim penguasaan atas nama kalangan ternama saja. Nah..lahirlah Mubesrata Kedang tahun 1961 bulan Januari dengan mendeklarasikan Sayin bayan(kesepakatan adat) Sayin Tua' Teda' bayan Wa' miwa'.  Dengan demikian status penguasaan komunal atas wilayah hidup beralih menjadi penguasaan orang perorangan.  Kearifan lokal ini, secara pelan tapi pasti bergeser karena dipolitisir oleh Pemda Lembata di era Yance Sunur, dengan memback-up pihak- pihak untuk mengklaim lahan masyarakat di areal potensi wisata dan Tambang di Kedang.

* Ritual Kelahiran(masa nifas)
Ritual ini, sudah semakin lenyap, seiring dengan berkembangnya ilmu kemedisan.  Pada era tahun 70-an, ritual ini masih merupakan hal wajib bagi seorang ibu yang baru melahirkan.  Diwajibkan menjalani masa pantang selama empat puluh hari, dengan tetap mengurung diri dalam rumah, makan semata jewawut dan jagung lokal putih, kayu api yang dihalakan untuk memasak hanya jenis kayu tertentu saja, dan minumnya hanya dari air bokong pisang(jenis khusus) atau dari air pohon "beha" serumpun beringin.  Jika dikaji lebih dalam, ternyata kandungan air dari bokong pisang jenis tertentu itu, dan air dari pohon "beha", justru berkhasiat membersihkan darah kotor dan menyembuhkan luka- luka dalam, setelah bersalin. Sementara menu yang dikhususkan itu, mengandung vitamin dan karbohidrat dan kalsium tinggi.  Logisnya sebagaimana pengalaman "penulis" mama atau ibu yang baru melahirkan dirawat dan diberikan ramuan khisus, sambil pantang untu membasahkan rambut hingga selesai masa nifas.  Masa nifas ini, biasanya ditutup dengan ritual Hamur hei', yang mana sang ibu dikeramas dimandikan dan dibersihkan dengan tatacara khusus. Apakah ini sesuatu yang bernilai...? 

* Ritual melang meyeng.
Masih dalam hubungan dengan alam, keyakinan Edang Wela, mengharuskan untuk setiap manusia menghormati alam.  Kaitan dengan ritual Melang meyeng, komunitas adat mengumpulkan sekian macam herbal, yang diyakini mampu menangkal kehadiran hama pada tanaman, dan didoakan dengan upacara khusus, kemudian herbal ini, digantung pada sudut-sudut kampung dan sudut sudut Kebun dan ladang.  Ritual inipun dapat dilakukan untuk menangkal kehadiran virus penyakit. Sebagaimana pada tahun pertama pandemi Covid"19, banyak kampung adat melakukan ritual ini. Satu syarat wajibnya adalah, selesai ritus, mesti ada pantannya. Dilarang ada berisik dalam kampung tersebut. Berupa bunyi-binyian dan musik diam, dan aktifitas masyarakat di dapur ( titi jagung) saja, tidak dibenarkan. Seluruh kampung menjalani hidup dalam keheningan sambil berdoa dan merenung, apa yang sudah dilakukan untuk alam ini.  Masa hening ini biasanya, berlangsung tiga sampai lima hari.  

* Ritual ka Weru min wehar
Adapun dalam kaitan dengan kemakmuran bertani dan keseimbangan dengan kehendak alam, secara gaib akan ada petunjuk atau penentuan Ilahi pada sosok tertentu yang layak menjadi lider sekaligus pemangku adat, yang berkewenangan menerapkan dan menetapkan tata kelolah alam dengan baik.   Komunitas Kedang masih meyakini itu, meski tinggal segelintir saja yang menugamalkan.  Sosok yang dikaruniai kekuatan khusus ini, menjalani pantang larang dan aturan-aturannya hidupnya sendiri sesuai wahyu yang diterimanya.    Dalam hubungan dengan kata Ka Weru min wehar, secara harafiah artinya masa makan jagung muda.   Bagi sosok yang memegang karunia ini, tidak akan makan jagung sebelum waktunya tiba sebagaiman ketentuan wahyunya.  Kadang kala, jadwal Ka Weru, justru jatuhnya pada musim kemarau atau sudah lewat masa panennya.  Yaaah... syaratnya, jagung yang disiapkan adalah tongkol jagung yang ambil sesuai syarat ritualnya saat menjelang hari panen jagung.  Tongkol-tongkol jagung ini, akan disimpan pada tempatnya, hingga datang jadwal ritual Ka Weru min Wehar, untuk didoakan seuai ketentuan ritualnya.  Ritual ini, bisa dibuat sederhana, namun ada yang harus dilakukan dengan melibatkan semua kerabat serumpun.  Mengapa perlu ada ritual ini..?
Ritual ini memilki nilai ekologi yang luhur.  Dimana yang bersangkutan dihargai sebagai petani yang kharismatik, yang memegang amanah hidup selaras alam.  Pada umumnya para pemangku karunia ini, merupakan narasumber tentang batas-batas etika dalam mencari hidup di atas tanah. Bagaimana menghargai makhluk hidup yang lain.  Bagaimana menghargai situs-situs khusus yang dikeramatkan.  Dan bagaimana hidup dan bercocok tanam sesuai kehendak alam.  Pengalaman dulu membuktikan bahwa  sosok yang memangku dan menjaga karunia ini, tentu petani sukses. Bahwa beliau selalu berkelimpahan karena mengamalkan hidup selaras alam.

* Ritual Koro' wei' bele nanan/tupu tein mawu dewa'....
Ritual jenis ini, dianggap sangat besar dan sulit. Untuk menyelenggarakan ritual ini, butuh kajian yang rumit dan panjang. Ianya dapat berubah jadi petaka ibarat pedang makan tuannya. Adapun ritual jenis ini, dibuat dengan skala sederhana, jika yang terkait adalah keluarga dekat.  Jika dikaji lebih dalam, rupanya bentuk ritual semacam ini, tatacaranya beragam tergantung pada siapa yang menjadi Pawang nya.  Akhirnya dapat ditemukan bahwa, ritual Koro' wei' bele nanan/tupu tein mawu dewa', seturut keyakinan Wela, hanya ada satu tatacara. Apakah tatacara yang lain bukan sesuai keyakinan Wela..? Bisa iya, bisa tidak..! Namun bagaimanapun tetap saja merupakan kearifan masyarakat lokal.  Mengapa ianya berat dan sulit....?   Ritual jenis ini, semestinya baru dilakukan jika ada korban atau tumbalnya.  Biasanya terjadi bencana kematian yang tidak wajar, pada keadaan lalu atau dosa pembunuhan masa lalu yang dirahasiakan.  Namun bagi dosa atau utang darah karena perang antar suku atau rumpun,  pada umumnya tidak terajdi korban jika menjalani pantang larangnya dengan baik. Terkecuali, dalam perjalanan ada pelanggaran pada pantang larangnya. Kondisi utang darah karena perang ini, pada umumnya dituturkan terbuka dari generasi ke generasi. 
Ritual ini, wajib dilakukan di pusat ritual atau Leu Tuan/Tuan Leu, di atas mesbah pusat(sentral)nya, untuk memohon pengampunan danpembebasan kepada yang Maha Kuasa, baik yang ada di langit(wula loyo, popo' pute' ate di'en lia hura' manusia) maupun kekuatan di bawah bumi,(ero awu' uhe ara niku niwang, kepa kire' wahin sara, mole eru' ha'i longo). Upacara ritual jenis akan akan memakan waktu dua hari sampai tujuh hari, tergantung pada banyaknya populasi keturunan rumpun yang mewarisi utang darah karena pembunuhan atau perang, yang terjadi puluhan hingga ratusan tahun lalu.  Ritual pada akhirnya dilanjutkan hingga ke Laut untuk dilakukan upacara pelepasan dan pembersihan dari hutang darah(oi bele wei' nanan dadi dara.) Yang ditutup dengan melangkahi bara api, upacara khusus untuk melepaskan diri dari dosa-dosa turunan dan kembali ke kampung halaman.  
Catatan kecil...
Ritual jenis ini dapat di identikan dengan pengertian kata "sare dame" versi Pemda Lembata hari ini. Hal ini, membuahkan sekian banyak tanggapan masyarakat yang menolak ritual jenis ini direka-reka untuk tujuan-tujuan promosi budaya.  

* Ritual bela kame, ita' nuta' bela tuan.
Dalam kehidupan tatanan Lokal Kedang, hukum Keyakinan Wela ini masih dilestarikan. Ianya dikolaborasikan dengan tatacara agama samawi, dalam kaitan untuk berdamai atau mendamaikan antar pihak yang cekcok atau sengketa.  Ritual jenis ini, dapat disebut cukup ringan, karena tidak karena utang darah. Ianya lebih pada sengketa mulut atau praktek buruk pihak-pihak yang mengandalkan kekuatan hitam(ilmu) untuk membalas dendam sakit hati.  Ritual ini, umumnya dilakukan oleh keluarga serumpun atau kerabat karena sengketa antar saudara atau kerabat seturunan.  Dalam hal ini, adalah wajib, kalau pemangku status ine ame, epu pu'en bapa mata(kerabat saudara dari ibu) untuk menghadirinya.  Hal ini, karena tanggungjawabnya sebagai pihak yang paling disegani dan dihormati untuk memberikan nasihat dan dukungan agar kedua belah pihak berdamai dan harmoni kembali.  Adapun ritual ini, dapat dilakukan tanpa kehadiran ine ame, epu pu'en bapa matan, jika sengketa itu terjadi antar rumpun keluarga.  Maka yang harus menhadiri ritual ini, adalah Pemangku hak kesulungan dalam kampung tersebut atau Leu nimon awu' wala, sekaligus sebagai pihak yang berkewenangan dan di-tua-kan.  Sebagaiman ritual lainnya, bela kame, ita' nuta' bela tuan, dipimpin oleh molan atau pawang keyakinan Edang Wela. 

* Ritual kura' ite dahu' ta', ite nanan ta' weren.
Pada umumnya, ritual ini, dilakukan oleh pasangan yang sulit mendapat keturunan.  Ritual kura' ite dahu' ta' dalam pengertiannya mengibaratkan bermohon pada sumber segala kehidupan. Pohon Ite(rita) dibaratkan sebagai ibu pengantara yang mengantar doa-doa kepada sang khalik. Sementara ta' weren ( air kelapa muda) ibarat pembersih dosa untuk memulihkan kembali yang bersangkutan.  Ritual ini sangat diyakini terkabul, sebagaimana kesaksian-kesaksian yang diberikan oleh pihak-pihak terkait hari ini.   Satu syarat yang menjadi wajib, adalah ritual ini, mesti dilakukan di Pusat ritual(leu tuan/tuan leu.)  Oleh karena itu, pada setiap rumpun kekuarga yang tergabung dalam satu kampung adat, wajib memilki sitis khusus di leu tuan, dengan menyiapkan mesabah yang merapat pada pohon ite(rita). 

Catatan kaki...
Bahwa tulisan ini, akan bersambung di edisi berikutnya, jika pemirsa berminat hendak mendalami lagi.  Kami menyiapkan tulisan ini, untuk mengklarifikasi pandangan yang menganggap kami membabi buta menolak rencana ekplorasi budaya atau Sare Dame, yang canangkan oleh Pemda Lembata, dalam hal ini bapak Bupati Thomas ola.  Kami mengharapkan agar tulisan ini dapat dikritisi atau disempurnakan jika masih memilki kekurangan.  Pada akhirnya, manusia beradab adalah manusia yang beradat.  Dan manusia beradat tentunya beradab. 
.......bertemu di edisi berikut....bersambung........m

...UbuQ..edisi February 2021.....








Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....