SARE DAME, EDUKASI DAN MANIPULASI

Debat kusir tentang konsep Sare Dame, semakin menjurus pada simpul-simpul cerah.  Pemda Lembata telahpun mengklarifikasi beberapa hal yang diperdebatkan publik Lembata. Demikian pula melalui Webinar atau meeting zoom baru-baru ini, Dinas Pendidikan Kabupaten Lembata, mempresentasekan agenda-agenda yang telah dicanangkan untuk mengisi puncak pergelaran tanggal 7 Maret mendatang. 

Istilah Sare Dame ini, memang sengaja diangkat sebagai tema umum untuk memperingati hari lahirnya gagasan otonomi Lembata, yang jatuh pada tanggal 7 Maret nanti. 
Ada beberapa hal yang carut, jika menyimak keterangan pers Bupati Lembata dan Dinas pelaksana kegiatan. Sebagaimana ditulis #viva timur# 4 Januari 2022, Bupati Lembata menyatakan, Sare Dame, justru hanya sebatas Tema, dan tidak ada ritual semestinya, karena ianya hanya bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang memiki kewenangan khusus di setiap kampung-adat. Sementara yang digelar pada 7 Maret mendatang, hanyalah demonstrasi ritual-ritual yang diyakini mempunyai kharisma dalam tatanan sosial kehidupan masyarakat adat. 
Dilain pihak, Kepala Dinas Pendidikan Kab.Lembata, selaku Panitia Pelaksana Sare Dame, menggambarkan bahwa, konsep Sare Dame, akan dikemas dalam konsep-konsep kegiatan yang sifatnya edukasi.  Adapun konsep edukasi ini, antara lain tersirat dalam rencana kegiatan Seminar adat, yang akan digelar pada tanggal 7 Maret nanti. Issu-issu yang akan dibahas pada seminar tersebut, bagi penulis, masih rancuh, campur aduk dan tidak melewati riset-riset yang memadai. Dapat diduga, akan timbul konflik kewenangan setelah itu, jika rekruitmen atau sumber-sumber yang dilibatkan, tidak selektif. Kemungkinan besar, kapasitas tokoh-adat yang dihadirkan hanya dipandang dari popularitasnya, bukan kapasitas nya sesuai doktrin adat disetiap Kampung maupun Etnis. Kerisauan ini, sering terjadi, belajar dari pengalaman lalu, tentang langkah-langkah strategis pariwisata yang pernah digulirkan sebelumnya. Dapat saya katakan bahwa, Sare Dame hanya modus, dimana beda kesingnya saja, isinya itu-itu juga. 

Dari informasi-informasi di atas, penulis hendak menebarkan beberapa argument untuk terus didiskusikan,  sebagaimana apa yang diketahui sesuai doktrin-doktrin keyakinan Lama ( adat), Kedang ; diantaranya ;

*  Doktrin Keyakinan Lama(Wela).
Adapun dalam Keyakinan Wela(Keyakinan Lama Kedang), tidak dibenarkan untuk setiap tatanan ritus dan ritualnya dapat di perankan oleh orang yang bukan kapasitasnya melaksanakan ritus maupun ritual. Larangan ini, hendak menegaskan bahwa, ritus atau ritual tertentu, tidak bisa direncanakan, atau dibahas, apalagi disimulasikan jika "anda bukan penganut Keyakinan Wela".  Ibarat sebuah agama, banyak hal dalam tatanan pengamalan, tidak bisa dengan begitu mudah dilakukan. Alasannya, karena ada beberapa mantera, doa, nama dan sosok, tidak bisa disebut-sebut begitu saja kalau bukan pada tempat dan waktunya. Ianya, diyakini dapat menimbulkan hal-hal yang kontradiktif jika hanya pamer-pamer...!
Doktrin Keyakinan Lama(Wela) mengklasifikasikan hal-hal keramat itu sebagai, Mi'er renga re'en derung, Tuan wo', wula loyo ero awu', Tuan nimon awu' wala, uhe ara niku niwang..dll.
Adapun mantra-mantra angker dan panas, sangat dijaga untuk tidak dilafaskan sembarangan, kalau tidak ingin dikenai tulah atau bala. Keyakinan Lama(Wela) sangat melarang kalau doa atau mantra itu dibuat-buat atau sekedar pertunjukan.  Dapat diibaratkan sebagaimana perintah Allah yang kedua,  yang diyakini oleh orang Katholik, 'Jangan menyebut Nama Tuhanmu tidak dengan hormat',..! Keyakinan Wela atau tradisi lama Kedang, melarang beberapa mantra atau doa keramat antara lain;  supa baya, hope lata, ame' Sabong, ron tohon dota obang, diyu rowi' bitul hewal, sayin leu bayan tene, lulun loman lepi' letu',..dll. 
Pantang larang ini mungkin dianggap wajar saja, jikalau yang melakukan atau menggeĺar kegiatan sebagaimana rangkaian Sare Dame, adalah orang bukan penganut Keyakinan Wela, atau memang sudah "Mantan" penganut Keyakinan Wela. Namun bagi orang Kedang asli, sangat menghormati doktrin-doktrin keyakinannya.  
Mari kita belajar untuk saling memahami, jika pemirsa kebetulan bukan penganut atau pewaris Keyakinan Wela. Bahwa Keyakinan Wela( kayakinan Lama Kedang) masih dianut dan ada, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup sebagian besar masyarakat Kedang hari ini. Meminjam istilah lazim hari ini, keyakinan Wela dan doktrin-doktrinnya masih wujud dalam satu kerangka sistem yang disebut adat-istiadat Kedang. Meskipun tidak mutlak diamalkan tetapi serpihan dan sisa-sisanya, secara umum orang Kedang mengamalkannya sebagai tatanan lokal yang mumpuni.
Bagian-bagian penting yang dikeramatkan tersebut, tentu saja ada pada adat istiadat Lamaholot, antara lain adat Lewuhala di Ile Ape.
Dalam meramu ulasan ini, penulis hendak merampungnya dalam pernyataan singkat. "Bahwa ritual-ritual adat yang ada dan lazim ditemukan dalam kehidupan masyarakat Kedang, tidak semuanya dilihat sebagai hal-hal biasa saja. Jika untuk pendidikan karakter generasi, agar tidak luntur ciri khasnya, mestinya orang tua, masyarakat, guru, birokrasi dan elemen lainya, mesti menciptakan lingkungan kehidupan sebagai literasi bagi anak-anak. Literasi dan edukasi sangat tidak relevan jika sebatas peran diatas pentas. 

* Pengalaman kemarin.
Metode pentas dan pameran budaya di Lembata jauh sebelum otonomi pun, sudah digelar. Semenjak Penulis masih kecil pun, konsep pentas-pentas sudah dilakukan. Model edukasi ini juga, yang kemudian di peleset lagi lebih jauh di era Almahrum EYS. Alhasil, ludes anggaran yang sangat besar dan masyarakat adat tidak merasakan sentuhan sedikit pun, akan keyakinan yang selama ini mereka amalkan.  Atau meminjam istilah yang lain, "jauh panggang dari api".
Kondisi yang mengecewakan ini, semestinya tidak terjadi jikalau, Pemerintah, dan elemen lainya yang memilki pengaruh pada tata kehidupan ber-adat, tulus memandang kehidupan kalangan yang meyakini adat atau keyakinan Lama, sebagai basis potensial yang memiliki sumbangsih besar untuk keharmonisan dan kedamaian masyarakat Lembata. Yang terjadi adalah, penggerak atau pengelolah anggaran, didominasi oleh manusia-manusia yang memang tidak meyakini adat atau Keyakinan Lama itu, sebagai luhur dan bernilai. Kalangan penggagas ide-ide gila ini, adalah anak tanah Lamale'ang, yang sudah lari dari rutinitas adat budaya yang dianggap rugi dan boros. Kalangan elit ini, adalah anak cucu tanah Lomblen yang sedang dan hendak mengingkari budaya yang selalu mengedepankan kebersamaan dan kekerabatan. Atau dengan kata lain, kalangan yang getol mencanangkan Sare Dame, adalah generasi Lembata yang suatu ketika dulu, melihat adat istiadat sebagai tabu dan haram.  Tetapi akhirnya, kalangan yang setengah murtad ini, baru menyadari bahwa, naluri individualis sebagai orang kota, justru semakin merenggangkan solidaritas.  Kemudian baru menyadari bahwa adat-istiadat itu adalah khazanah luhur, tetapi tidak mampu kembali menjadi bagian dari khazanah tanahnya sendiri.  Yang dapat dilakukan, adalah mengadopsi khazanah itu menjadi modal potensial untuk bisnis wisata.  Berikutan dengan pandangan miring tentang tata ritual dan ritus, yang di-stigma-kan sebagai berhala, sirik dan kuno. Nah..cara pandang ini, tentu saja, merasuk generasi berikutnya untuk tidak mengagumi dan mengagungkan Keyakinan leluhurnya sendiri. Mungkin saja kemudian kalangan yang sok modern ini, baru menyadari bahwa, tatanan Lama dan Kuno itu, adalah sangat bernilai pasar.  Karena termotivasi akan kegairahan bisnis wisata, membuat Pemerintah Daerah era Almahrum EYS, memanipulasi dan melakukan gerakan rekayasa budaya besar-besaran, untuk memuluskan niat meraut kepentingan-kepentingan perut dan masif berusaha merebut hak kepemilkikan atas area-area potensial wisata. Kenyataan-kenyataan ini bukan rahasia lagi bagi masyarakat adat hari ini. 
Kemudian Sare Dame ini, bergulir begitu cepat dalam bulan-bulan terakhir ini. Dapat dipertanyakan, mengapa konsep ini, lahir dan viral di saat-saat akhir, rencana pinjaman Daerah 200 miliyar pada pihak ke tiga. Apa bedanya dengan hari kemarin..???
Mengenang hari kemarin, Penulis sebagai insan adat sangat kecewa. Bahwa pengembangan wisata tidak bisa diproyekan dibagian ranting dan daunnya. Tetapi pengembangan dan pelestarian budaya harus dimulai dari tungku di dapur, berlanjut ke meja makan, kemudian ke ruang tamu, di Ebang dan rumah adat, di Nuba dan Leu Tuan dan selanjutnya baru ke sekolah dan basis publik. Namun yang nampak hanyalah, taman dihalaman yang bergonta-ganti pot bunganya, sementara tungkunya hingga ruang tamu, ala Eropa. Konsep inilah yang dikritisi sebagai mubazir dan foya-foya anggaran.  Kami masyarakat adat hanya dapat ciprat, karena semata disebut-sebut namanya, sebagai masyarakat adat semata.

* Hentikan sudah, manipulasi budaya.
Sebagai masyarakat adat, penulis hendak menegaskan bahwa, janganlah terus membawa nama kami untuk kepentingan wisata, jika kami tidak diakui sebagai penganut yang memilki adat dan keyakinan itu sendiri. Yang didambakan oleh masyarakat adat adalah, biarkanlah kami hidup damai dengan keyakinan adat kami, dan jangan peralatkan keyakinan kami ibarat belanja habis pakai.
Masyarakat adat, tentu sangat berbangga, jika tatanan lokal yang arif dan luhur ini, didukung dan diperhatikan sebagaimana yang kami yakini. Karena kami sangat percaya, Lembata ini, aman dan damai, harmonis dan bertoleransi tinggi, karena kami masih menghidupi adat dan keyakinan leluhur kami.

* Edukasi dan literasi.
Masyarakat adat Lembata, sebagaimana kita ketahui, banyak sekali yang bukan penganut keyakinan Lama atau adat istiadat. Kehidupan adat istiadat di kota Lewoleba, menjadi contoh nyata kemunduran jati diri sebagai masyarakat adat. Dan hari ini, yang menggagas dan pelaksana justru elemen yang sudah lupus kapasitasnya sebagai masyarakat adat. Jika demikian halnya, Penulis menghargai. Karena semua itu pilihan cara pandang dan cara hidup. Pengaruh cara pandang ke-kota-an ini, merambat hingga ke desa-desa. Banyak orang akan kelihatan sebagai orang adat situasional, jika mengalami sakit atau bala beruntun, atau apabila punya kepentingan untuk meraih kuasa dan jabatan. Nah..ketika sedang berada pada titik keraguan, kecemasan dan kekwatiran yang tinggi, akan kelihatan sosok-sosok berbondong ke kampung-kampung untuk minta dukungan dan pertolongan secara adat atau lebih pas kalau disebut pura-pura yakin pada keyakinan Leluhur. Kebanyakan masyarakat adat yang migrasi ke kota, dirasuk oleh cara pandang tentang budaya hidup di desa yang di-stigma-kan sebagai boros, merugikan dan konsumeris. 
Lalu apa dampaknya edukasi bagi anak'anak jika, semangat kecintaan akan adat budaya itu sendiri sudah pupus dari kehidupan orang tuanya..? Penulis sengaja menggunakan redaksi dan formulasi kalimat yang sederhana mungkin untuk dipahami publik Lembata. Bahwa dalam kaitan dengan pendidikan karakter anak, akan dengan sendirinya terbina jika lingkungan keluarganya beradat. Ibarat orang Bali.Banyak yang bukan beragama Hindu, hidup dan menghidupi tradisi Hindunya. Bagaimana dengan Lembata...???  Apakah harus dengan penegasan Gubernur NTT, baru semua kantor-kantor diwarnai dengan busana khas adat..???? Lalu apa saja yang bisa dilakukan secara kongkrit untuk konsep Sare Dame, yang menghabiskan dana yang sangat besar...? 
Sayang seribu kali sayang... jika konsep Sare Dame hanya sekedar pentasan reka ulang ritus dan ritual serta seminar yang tidak didukung oleh riset yang cukup, maka namakan saja Sare Dame itu sebagai Festival 3G atau fetival Uyelewun Raya. 
....... ......ubuQ..edisi 8 januari 2021...







Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....