SARE DAME DAN KEYAKINAN EDANG WELA

Menanggapi rumor yang seliweran, baik di dumay maupun dalam diskusi alam nyata hari ini, "sare dame" yang dicanangkan oleh Pemda Lembata, sepertinya membuahkan perdebatan publik.  Ada kalangan tertentu mengharapkan positif thinking. Mencoba mengarahkan cara pandang publik pada nilai baik yang mungkin sedang jadi tujuan Sare Dame.  Mungkin rekonsiliasi politik, rekonsiliasi manusia dengan alam, mungkin juga rekonsiliasi antar suku, golongan maupun individu.  Alhasil, konsep Sare Dame yang rencanya akan menelan belanja 2,5 miliyar ini, dipandang seakan pesta-pesta rakyat kebanyakan, atau festival-festival budaya biasanya. 
Dilain pihak, ada gerakan berpikir masyarakat yang justru mempertanyakan rencana Sare Dame ini, dalam konteks yang membingungkan dan meragukan, jika dikaitkan dengan doktrin-doktrin adat istiadat. 
Sebagaimana ulasan dalam pendapat tulisan saudara Yogi Making, yang menulis tentang Sera Dame dalam Kearifan tradisi Lewuhala, menggugah saya sebagai masyarakat adat Kedang, Uyelewun untuk nimbrung menulis sedikit saja tentang Sare Dame (ritus perdamaian) sebagaimana doktrin Keyakinan Lama Edang Wela ( baca; agama bumi).

Kedang (edang), adalah nama suku bangsa yang berdiam melingkari antero lereng gunung Uyelewun, bagian timur pulau Lembata.  Kaya dengan tatanan budaya dan kearifan lama, yang masih hidup dan lestari hingga saat ini. Etnis Kedang, secara jujur dapat dikatakan, sebagai etnis yang paling terlambat disentuh oleh modernisasi. Namun dapat di syukuri, kalau hari ini, justru nadi ekonomi Lembata, berkembang pesat di wilayah adat yang padat penduduk ini. 
Telisik dari dekat, tentang keyakinan Lama nya ( edang wela), agama bumi ini, kemudian diyakini hari ini sebagai adat istiadat Kadang.  Meski doktrin keyakinan Lama ini, cenderung tergerus oleh pengaruh budaya luar, tetapi ianya masih tetap kuat sebagai satu-satunya tatanan sosial yang diandalkan sebagai sarana keharmonisan, kekerabatan dan kedamaian komunitas hari ini. Dari pendasaran tersebut, orang Kedang hari ini, sangat menjaga kesakralan-kesakralan doktrin-doktrin keyakinannya. 
Berhubungan dengan ritus "Sare Dame", perlu ditelaah lagi lebih dalam apa tujuan dan sebab musababnya, jika wacana ini sengaja menunggangi kebiasaan adat budaya. 

Adapun Keyakinan Edang Wela, mengharuskan agar setiap manusia yang hidup, wajib menghargai perbedaan, pola pikir moderat, toleransi dan mengutamakan persaudaran di atas segalanya. Dalam harafiah dialek Kedang, kerap dikenal sebagai, ine ame binen ma'ing, ebe nerung  are' nore'.  Nerung tore erung, nore' tore bore'.  "Edang tatong lia namang, peku nureng uri sele. Namang tore hamang, nedung rei' te hedung..dst. Karisma yang terkandung dalam doktrin tersebut diperkuat dengan hukum hakam dan larangan- larangannya ( Kara awe wunu pake ele, kara ebel reti adung mama, kara wei" nanan dadi dara, kara pa' liang kara hewa' beu, kara birang nabu papal wetu', kara emi iring ma'o malong...dst)
Nah, dalam doktrin keyakinan Edang Wela, terdapat keharusan untuk menyelesaikan atau menyudahi konflik, sengketa. Baik sengketa lisan maupun sengketa kepemilikan hingga pada sengketa pembunuhan atau perang.  Keyakinan orang Kedang, mengakui,  kalau segala sengketa itu jika dibiarkan, dapat mendatangkan bencana atau tulah, baik secara masal maupun individu turun-temurun.  Kejahatan atau sengketa masa lalu, dapat berdampak pada keharmonisan dan persaudaraan. Banyak kampung-kampung di Kedang yang sampai sekarang, masih "pantang dara"(ai la'i ube' lama'), lantaran sengketa perang atau pembunuhan yang terjadi ratusan tahun lalu.  Kondisi-kondisi ini, dapat diatasi baik dalam ritus-ritus masal maupun perorangan.  Ritus terkait "pantang dara" dalam doktrin keyakinan Lama Kedang di kenal secara luas, dalam( koro' wei' bele nanan), hingga pada ritus pertobatan dan perdamaian yang dilakukan di Leu Tuan( pusat ritual adat) berlanjut hingga ke Laut. Ritus puncak ini disebut, "huba' mur bare ale, ong keu wile do',  ong wula loyo do' ero awu' keu).  Sementara dalam kaitan dengan perselisihan paham, sengketa-sengketa lisan, terdapat beberapa bentuk ritus perdamaian yang unik dan teratur penuh kesakralan. Masih dapat ditemukan, di kampung-kampung orang melakukan, ritus Bela kame, mawu nunu wowo, dan lain sebagainya, sebagai syarat mutlak jika salah satu pihak, mengalami kesulitan atau bencana. Dengan demikian antara pihak- pihak yang bertikai, sangat jarang membawa percecokan hingga ajal menjemput. Meminjam kata- kata bijak, "amarah jangan dibawa hingga tenggelamnya matahari". 

Menanggapi rumor tentang wacana Sare Dame, yang sedang diupayakan dengan menghabiskan miliyaran rupiah uang rakyat, saya berpendapat lain.  Bahwa seremonial Sare Dame, bukan menjadi pilihan yang bijak dalam menyikapi sekian banyak kondisi politik dan carut- marutnya di Lembata saat ini. Toh, hari ini semua masyarakat Lembata adalah insan Pancasilais, Demokratis, dan jauh sebelumnya adalah masyarakat ber-adat.  Konsep dan motivasi Sare Dame, tidak semestinya dilakukan atas motivasi perhelatan suksesi, baik suksesi Kepala desa maupun Suksesi Pilkada. Pendapat pribadi ini, hanya merupakan contoh kasus, yang sebatas asumsi, jika Sare Dame yang hendak dilakukan oleh Pemda Lembata, terinspirasi karena kondisi-kondisi yang digambarkan diatas.

Dalam konteks yang lain, Sare Dame, seyogyanya telah dengan arif dihidupi dalam hidup keagamaan maupun peradaban warisan kita. Akan menjadi aneh, jika kebiasaan berdamai dan sportif dalam persaingan dan perhelatan, dikemas dan diolah dalam kerangka kegiatan yang menelan miliyaran dana.

Bahwa ritus-ritus perdamaian sebagaimana doktrin adat istiadat, memang berbeda-beda di setiap suku/etnis di Lembata. Kendati disana-sini ada kesamaan, ianya semata tujuannya saja. Namun, bagaimana dan mengapa ritus perdamaian itu dilakukan, tentu saja berbeda cara dan prosesnya. Demikian juga penghayatan dan ketaatan akan janji perdamaianpun mungkin tidak sama.  Ada kalangan merasa atau mengakui ritus semacam ini, sebatas situasional semata. Tetapi bagi orang Kedang, ritus-ritus semacam ini, sangat sakral dan dihormati turun-temurun. Berikutan dengan kesakralan ini, proses siapa, dimana, mengapa, dilakukan ritus tersebut melalui proses yang jujur, adil dan mengikat.  Nah,..jika wacana Sare Dame tersebut, mencakup satu kesatuan masyarakat Lembata, dalam kapasitas sebagai etnis dan kaum maka, penting untuk diketahui bahwa, orang (kaum) Kedang sebagaimana amanat turun temurun, tidak memilki "musuh" di Pulau Lamale'ang.  Kalaupun ada musuh, hal itu telah dilewati dengan bijak oleh Leluhur. Dengan demikian wacana Sare Dame, dalam konteks keseluruhan tulisan ini, tentu saja di tolak. 

Kembali menduga maksud dari wacana Sare Dame, yang direncanakan Pemda Lembata, perlu digarisbawahi beberapa hal, antaranya, hidup dan menghidupi adat tradisi.  Sare Dame, tidak harus dipoles dalam kerangka adat budaya, jika tidak diimbangi dengan keyakinan akan kesakralan dan ketaatan akan hukum hakamnya. Dengan kata lain, jika hari ini, kita adalah umat beragama, lakukanlah itu sebagaimana di kehendaki oleh agama masing-masing. Adalah sangat terbalik cara pandangnya, jika Sare Dame yang hendak digelar, sengaja dibuat unik dan menarik karena motivasi wisata, dagang dan politik. Percaya, tidak percaya, niat terselubung itu akan berbuah luka...! Bersyukurlah kalau tidak ada yang akan ditumbalkan. Mengapa...? Itu doktrin Keyakinan edang Wela. 
" kara koro' wowo, kara bakil eu', kara ula' nute kara dae' toye', kara mara witing bita tua' bura. .......terseraaaaaah..!
        
                         # emanubuQ..edisi 2022.@



Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....