"Sare Dame atau Eksplorasi Budaya, tetap saja sama baiknya, jika digagas dengan mengakomodir kepentingan dasar, hidup dan keberlanjutan adat-istiadat itu sendiri", kata Yongki Warat, pemerhati budaya.

Issu seksi Sare Dame kembali berganti nama sebagai Eksplorasi Budaya. Kendati berganti atau diganti nama, tetap saja menjadi buah bibir kalangan pemerhati budaya dan mungkin masyarakat adat Lembata pada umumnya.
Kali ini penulis hendak mengulas pandangan seorang tokoh muda Lembata, Yonki Warat, yang juga turut menanggapi issu-issu dimaksud. Dalam pertemuan singkat di kediaman beliau, di Woloklaus, Lewoleba Barat, Yonki Warat menyatakan bahwa judul Sare Dame ataupun Eksplor Budaya, semestinya dipandang baik adanya, jika terdesain demi kelestarian kehidupan adat, mulai dari kebutuhan dasar gerakan dan tindakan kongkrit yang "meng-hidup-kan".  Dalam hal ini, ivent yang akan digelar pada tanggal 7 Maret mendatang di Hari Otonomi Lembata, semestinya bukan semata sebuah pergelaran demonstrasi ritual adat, tetapi lebih pada planing pasti sebagai gerakan berkelanjutan, dalam pelestarian lingkungan hidup dan keberlanjutan tatanan luhur kehidupan komunitas adat. 
Pandangan tokoh muda ini, dapat disebut sebagai pandangan yang mewakili jeritan masyarakat adat Lembata yang selama ini terus tereksploitasi potensi adat budayanya, semata untuk menjawab ketentuan-ketentuan proposal Pemda Lembata untuk meraut anggaran dari Propinsi dan Pusat.

* Ekplorasi atau Eksploitasi..?
Menanggapi judul baru Eksplorasi Budaya, penulis hendak menggambarkan hal-hal kongkrit yang semestinya dihayati semua pihak,dalam berkonsep dan bergiat. Sangat ketahuan motivnya, jika wacana Eksplorasi Budaya, diibaratkan sebagai ruang pementasan "ritual-ritual adat", karena ianya tetap keluar dari doktrin keyakinan Lama. Dengan anggaran yang besar itu, sudah saatnya komunitas adat mendapatkan sentuhan-sentuhan pemberdayaan untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai orang-orang adat. Ivent Eksplor Budaya, yang dipahami oleh orang-orang kampung hari ini, tidak ubahnya umpama, "anak-anak yang pulang dari sekolah dan baku ajak pergi main bola . Atau dengan kata lain, duduk-duduk omong-omong jo, baku ajak rame-rame habiskan dana". 
Perumpaan di atas tentu saja, menimbulkan tanggapan beragam dari pihak-pihak, terutama pihak yang ditunjuk jadi Event Organizer. Kalaupun dijelaskan ke publik, yang pasti pihak ini akan menerangkan yang mulus-mulus saja. Alasannya kenapa dilahirkan konsep Eksplor Budaya, dengan menampilkan ritual-ritual adat dari 10 komunitas, tentu saja demi pelestarian dan ekplorasi potensi budaya di Lembata. Jika demikian alasannya maka, yang mesti di temukan dalam konteks ini, semestinya kepedulian dan gerakan nyata Pemda Lembata untuk membackup kelompok-kelompok adat di kampung-kampung adat. Membangun dan mensuport Lembaga adat, mensuport gerakan sanggar-sanggar budaya, mendukung dengan riil, moment-moment adat baik ritual maupun ivent budayanya, sesuai tatanan yang diatur dalam keyakinan masyarakat adat masing-masing. 

* Saudara Kembar beda warna kulit.
Demi menengahi polemik yang memicu beragam beda tafsir, bapak Bupati Lembata, mesti menjelaskan secara terbuka, bahwa ivent Eksplorasi Budaya atau judul lamanya Sare Dame, adalah kelanjutan dari expo Tiga Gunung atau expo Uyelewun Raya. Wajar saja, kalau program yang dilahirkan oleh almahrum EYS, dilanjutkan, karena ianya sudah terdokumentasi dalam RPJM Daerah. Dengan demikian, kritikan yang hendak disampaikan oleh semua kalangan yang peduli, cukup berkaitan dengan desain intervensi Pemda Lembata yang cenderung menghabiskan dana semata. 
Misi besar Bupati sebelumnya, yang pada eranya, Bapak Bupati Lembata hari ini, adalah Wakilnya, semestinya direvisi dan didesain lebih pada pembangunan Wisata berbasis masyarakat. Konsep Wisata berbasis masyarakat yang dimaksud, adalah mengintervensi sektor-sektor yang kaya dengan kearifan tatanan lama, bukan semata memanfaatkan kuasa untuk mewajibkan setiap Pemerintah Desa, mengumpulkan secara mendadak, para pelakon teater dan sanggar dadakan demi kebutuhan sesaat. 
Apakah, desain Ekspolrasi Budaya, hari ini, cenderung menganut pola yang identik dengan Expo-expo sebelumnya..? Sangat diharapkan untuk dijelaskan atau diklarifikasi oleh Event Organizer yang telah ditunjuk. Kalau saja, polanya sama atau ciplak dari pola lama, tentu sangat disesalkan. Masyarakat pada dasarnya, sedang menanti, kapan kearifan-kearifan adatnya ditulis untuk dipelajari oleh anak-anaknya di sekolah. Masyarakat adat pun, masih mengharapkan, kalau intervensi anggaran untuk meningkatkan kapasitas institusi lokal. Masyarakat adat juga, sedang bermimpi untuk melihat anak-anaknya kian hari kian beradat, bukan cuman jadi pemeran lakonan dan pentasan.  Masyarakat adat, sudah dikecewakan dan jangan dilukai lagi. Masyarakat adat akan sangat tersinggung kalau, ritual-ritual adatnya yang diyakini sakral dan luhur, dijadikan pameran semata. "Janganlah jadikan aset tatanan adat kami ibarat jualan semata. Demikianlah dapat disepakati bahwa, apapun bentuk dan warnanya, nuansa gerakan untuk menghidupkan secara kongkrit tatanan adat dan budaya, menjadi prioritas dalam wisata berbasis masyarakat, bukan pameran dan pentasan semata. Biarlah konsep eksploirasi tidak wujud seperti bentuk eksploitasi. Mirisss..

NB; Tulisan ini, untuk kesekian kalinya, sebagai bentuk kritikan kami pada kebijakan program yang tidak populis.

........UbuQ..Edisi February 2022



Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....