Celoteh Preman desa.......PEMERINTAH DAERAH HABISKAN DANANYA, MASYARAKAT MURAHKAN NYAWA SENDIRI....!

"a sili oha' paing lati uu, buru' lolon di oha' nae' ku"...(makan lombok tidak rasa pedis, daut kentut pun tak hirup bau nya). Demikian sekilas pengalaman lazim, tatkala bercengkrama dengan orang-orang di desa.  Telah menjadi trend buah bibir oleh sebagian besar masyarakat desa, di Kab. Lembata hari ini, jika bicara Covid '19.
Lebih dari sebulan yang lalu, seantero masyarakat kampung di Kabupaten Lembata, terutama di wilayah Kedang, kecamatan Omesuri dan Buyasuri, di gerogoti demam flu, yang dalam pengalaman lokal dianggap kondisi biasanya, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.  Adapun istilah lokal Kendang, yang menggambarkan fenomena musim seperti ini, disebut Musing Bila ta'en Tamal duren(musim dimana buah asam mulai mengkal).  Toh, dimusim ini, manusia mulai diserang demam flu yang terjadi akibat iklim panca robah. Apakah, kondisi ini, patut di aminkan sj, sebagaimana pengalaman lokal biasanya...?  


* Berdiang di abu dingin

Aturan PPKM mikro dan PPKM DARURAT, yang diterapkan beberapa minggu terakhir, berakhir pada 25 Juli 2021.  Selanjutnya menanti keputusan dari Pemerintah, setelah dilakukan evaluasi dan mungkin akan diperpanjang. Demikian pula, telaan kecil ini, hendak mengevaluasi, pengertian kita, masyarakat kampung, yang doyan informasi hoax dan jarang-jarang disuguhkan sosialisasi serius dari dinas Kesehatan ataupun elemen lain yang berkompeten. 
Membaca pola pikir masyarakat Lembata, terutama warga di desa-desa, bahaya Virus Corona, seakan masih sangat jauh. Tidak saja masyarakat di desa. Pemerintah Daerah hingga Pemerintah Desa, cenderung menerapkan kebijakan asal jadinya, dengan persepsi, virus Corona itu seolah-olah belum datang atau nanti akan datang. Sungguh, langkah penanggulangan yang sangat keliru dan asal-asalan oleh Pemerintah daerah hingga desa,kendati  kebanjiran  dana APBN yang digelontorkan Pemerintah Pusat.

* Propaganda tong kosong
Cuplikan pengalaman diatas, menggambarkan bahwa, betapa sangat tertinggalnya cara paham masyarakat lokal, yang mungkin sejauh ini, tidak tersentuh oleh pelayanan Pemerintah yang telah menghabiskan miliyaran uang rakyat selama kondisi Pandemi.  Masyarakat akhirnya, menggunakan kemampuan lokalnya yang sempit, untuk menerjemahkan sendiri-sendiri, kondisi yang dialami akhir-akhir ini. Masyarakat sadar akan kondisi mereka. Bahwa kehidupan menjadi sulit bukan karena bahaya Pandemi, tetapi karena kebiasaan hidup komunitas yang cenderung di rubah dengan Pembiasaan Baru ( New Normal). 


* ibarat menjaring angin. 
Membahas panjang, metode penanggulangan Pemerintah akan bahaya Pandemi di Kabupaten Lembata, pantas dinyatakan secara jujur, bahwa nampak kelalaian terstruktur oleh Pemerintah Daerah itu sendiri.  Bagaimana mungkin, penanganan penyebaran Covid '19, semata bisa menerapkan pembatasan Pelayaran antar Pulau dan akses transportasi lainnya, sementara Covid '19 justru telah membaur di masyarakat dan keluarga..? Apakah efektif jika dengan menempatkan.posko-posko penjagaan, dan uang yang banyak itu,dicabik-cabik untuk biaya perjalanan dan biaya jaga-jaga ala suksesi Pemilu? Hal ini, tentunya membuahkan pertanyaan miris dari masyarakat, yang sangsi akan ketulusan pengendalian ini. Toh.. yang menghabiskan uang, bukannya menunjukan kerja-kerja profesional, atau sekurang-kurangnya mengalirkan energi dan pengetahuan positif kepada masyarakat, tetapi cuman duduk dan tunggu kompensasi di pos-pos pengendalian. 

* Aparat yang peduli.
Strategi kompanye dan sosialisasi publik, menjadi barang langka dalam metode Penanggulangan penyebaran Covid'19 di Lembata. Jika ada pun, sekedar pungut daftar hadir untuk lampiran Lpj. Pecahan-pecahan anggaran yang besar itu, mungkin diprioritaskan untuk pembiayaan-pembiayaan kegiatan show orang-orang besar.  Sedangkan langkah kampanya sadar Pandemi, kepada masyarakat secara sistematik dan masif, mungkin tidak dianggap penting.  Alhasil, masyarakat kebanyakan mengkonsumsi informasi dari media sosial dan sumber lain yang kerap memprofokasi dan mungkin cenderung negatif.  
Meski demikian mirisnya kinerja Pemda Lembata, patut diapresiasi, kepedulian aparat keamanan, baik kepolisian maupun TNI, yang berperan aktif dalam mengkonsolidasikan kesadaran akan Pandemi Covid '19.  Betapa pihak-pihak keamanan, bertarung dengan bahaya, berada pada garis depan dalam kondisi apa saja. Aparat keamanan di Lembata, sangat siap dan tanggap, mengisi barisan kosong Pemerintah Daerah, yang kiatnya 'senin khamis', selama kondisi Pandemi di Lembata.  Semestinya dana-dana yang dihabiskan dengan suka hati oleh Pemerintah Daerah, sebaiknya diberikan untuk mendukung kepedulian Aparat Keamanan pada kondisi kesehatan publik. Yaah... Pemerintah Daerah Lembata itu pengecut tetapi rakus...!

* Rentan pupus jika apatis
Merespon tingkat kepedulian publik di kota dan di kampung, yang sangat apatis pada ancaman Pandemi, penulis mempunyai deretan catatan pernyataan masyarakat, yang paling sering ditemukan hari ini, jika berpapasan dan berdialog dengan masyarakat desa.
Orang-orang kampung, sepertinya dihantui kekwatiran jika berobat ke Puskesmas, meski mengalami demam flu yang berat.  Ceritanya, masyarakat tidak mau dinyatakan reaktif dan diarahkan untuk karantina.  Hal ini, dipicu oleh, hasil rapid test yang memvonis pasien demam flu sebagai reaktif, karena gejalanya mungkin sama dengan gejala terpapar Corona.  Pertanyaannya adalah, apakah langkah antisipatif dari pihak medis ini, salah..? Bukankah sebaiknya di rapid, agar kita dapat mengantisipasi penyebaran virus..? Bukankah, grafik penularan Covid '19, berikut keadaan penanggulangannya selalu di publikasikan dan ternyata lebih dari 80% dapat kembali sembuh..? Ataukah dengan berdiam diri dan mendiamkan penyakit demam flu di rumah, dan menangani dengan cara sendiri, bisa menggaransi putus matarantai penyebaran..? Wah.. jika begini cara pikirnya, Covid '19 pastinya terus bersukaria bersama di setiap sendi kehidupan.  Bisa pupus...? 'Mungkin..!!'


* Coba gunakan akal sehat.
Dipantau dimedia sosial dan dunia nyata, tingkat kematian di Lembata semakin meresahkan.  Bunyi sirene Ambulance menjadi alunan wajib, berselang beberapa jam saja tiap hari.  Sementara di kampung-kampung berita duka, ibarat koran wajib atau berita wajib harian.  Kadang kala,  kematian antri dalam sebuah kampung dan keluarga. Apakah hal ini, disebabkan oleh virus Corona..? Jawaban paling ideal seiring dengan keresahan publik ini, adalah 90% patut diduga terpapar Covid. Apalagi jika antrian kematian itu, terjadi pada orang yang memiliki sakit bawaan, seperti diabetes melitus dan TBC. Kesaksian paling benar adalah karena Covid telah merebak dan bermukim dalam keluarga, bukan lagi datang dari luar. Begitu drastisnya tanda-tanda penularan, Pemerintah Daerah dan jajaran di bawah nya, masih malu-malu kucing, memasifkan konsolidasi kesadaran warganya. Warga dibiarkan meng-update sendiri informasi yang semakin simpang-siur tentang Covid '19.

*  Celoteh preman desa.
Menanggapi respon masyarakat yang semakin apatis, penting untuk dialirkan dialog bathin menjawabi pergumulan-pergumulan hati sendiri-sendiri. Mungkin saja bermanfaat bagi semua yang memiliki logika. 
Bahwa, tanda-tanda kita, terpapar Covid '19, sebagaimana yang dijelaskan oleh berbagai sumber terpercaya, ianya mirip dan atau sama persis seperti demam flu biasanya, yang selama ini, rutin menyerang manusia di daerah seperti Lembata pada bulan-bulan Juni hingga Agustus. Hal ini, tidak berarti ketika seseorang dinyatakan di duga terpapar pada waktu rapid test, mesti di isolasi, kecuali yang bersangkutan memilki penyakit bawaan atau kategori pasien yang butuh penaganan rapi secara medis. Sementara bagi seseorang yang kebetulan tidak sakit parah, cukup diwajibkan untuk karantina mandiri. Semuanya bertujuan untuk memutuskan matarantai penyebaran agar tidak menular pada orang lain, dan sedapat-dapatnya, seseorang itu disterilkan hingga virus itu mati paling kurang 14 hari karantina.  Ahhh.. semakin sumpek orang-orang yang punya logika, dan peduli pada keresahan ini.  Bukankah ironis, jika semua pengetahuan tentang Corona masih dianggap tidak serius atau dibuat-buat..? Tentu tidak perlu disesalkan jika yang mati itu, orang-orang yang apatis dan keras kepala. Tetapi bagaimana perasaanmu sebagai manusia, jika yang mati itu adalah orang yang lagi sakit bawaan, orang-orang tua dan anak-anak balita...? 
Celoteh ini, tidak cukup untuk meyakinkan publik, namun sekurang-kurangnya melegakan hati penulis yang gundah gulana, melihat gelagat masyarakat yang kurang sadar akan bencana ini. Ditambah lagi dengan Pemerintah Daerah yang terbawa senyum, jika ada diskresi penggunaan Anggaran, untuk tanggulangi penyebaran Covid '19. Bahwa, Covid itu hingga saat ini, belum dipastikan apa obatnya yang benar ampuh untuk mengobati atau mematikan virus dengan serta -merta. Semua ahli medis masih meraba-raba. Bahwa, Covid itu, sememangnya sudah ada semenjak dahulu kala, namun daya imun tubuh dan kearifan hidup manusia di zaman itu mampu menangkal penyebarannya. Mengapa penyebaran dulu kala, tidak masif seperti sekarang..? Hal itu didukung oleh pola peradaban manusia di zaman dulu, dimana mobilisasi kehidupan belum cukup maju. Berbeda jauh dengan zaman sekarang.  
Tidak semestinya semata bersandar pada informasi di media sosial. Ada baiknya juga, kalau kita pun menghayati kembali kearifan-kearifan leluhur, berkaitan dengan metode pengobatan ala orang dulu. Tentu saja banyak sekali tumbuhan-tumbuhan herbal yang punya manfaat utk menambah imun tubuh. Selanjutnya belajar mengadaptasikan kembali pola hidup orang dulu, yang ramah pada alam dengan pola makan yang alamiah. 
Tradisi dan budaya komunitas yang merekat dengan pola hidup keseharian, mestinya segera dibatasi dan mengandalkan protokol kesehatan. Kenyataan hari ini, manusia terperangkap pada pola pikirnya sendiri. Melawan tuntutan untuk hidup dengan pembiasaan baru ( New Normal) hanya karena urusan pesta dan bersilahturahmi ala konsumeris. 

* Kesaksian yang mengkwatirkan. 
Mendengar kesaksian masyarakat tentang, gejala hilang penciuman dan mati rasa, dapat ditarik saja kesimpulan bahwa, virus Corona itu telah menyatu dalam hidup masyarakat Lembata hari ini.  Diskusi tentang gejala-gejala ini, lazim terbawa dalam canda dan gurau. Sangat sedikit orang yang sadar akan gejala-gejala itu, mungkin gejalah awal terpapar Corona, tetapi banyak sekali, orang yang belum sadar atau sengaja tidak mau tahu, tentang gejala-gejala yang mengkwatirkan itu. 
Hendak digambarkan sedikit, kondisi kepedulian warga akhir-akhir ini, yang semakin mengkwatirkan. Kebiasaan atau tradisi penguburan menjadi klaster yang paling banyak menyumbang penyebaran Corona. Hal ini, diakibatkan karena begitu sulitnya orang melepaskan kebiasaan selama ini, dimana berkumpul dan mengumpulkan kerabat handai, adalah syarat utama seseorang waktu dikuburkan.  Sementara, pemangku kebijakan tingkat lokal pun, menjadi bagian yang terperangkap sendiri dalam tradisi-tradisi seperti ini. 

* Penyesuaian yang abal-abal.
Seiring dengan cengkraman budaya hidup masyarakat yang berpotensi mempermudah penyebaran Cirona, adapun kalangan instansi-instansi lokal, sekolah-sekolah, rumah-rumah Ibadah yang secara tau dan mau, mendesain upaya penyesuaian yang abal-abalan.  Kalangan yang notabenenya disebut intelektual lokal, nampak kurang mampu mendesain kegiatan rutinnya sesuai tuntutan protokol Kesehatan.  Anak-anak sekolah yang semestinya belajar dari rumah, tidak diimbangi dengan langkah-langkah yang terukur, namun dikumpulkan kembali dalam kelompok- kelompok belajar di rumah-rumah warga. Sedangkan ritus- ritus keagamaan yang harusnya ditiadakan, dipaksakan untuk diselenggarakan dengan asumsi yang kurang bertanggungjawab. 
Kalangan pendidik terperangkap dalam mekanisme biasanya, yang selama ini, dianut ibarat buku suci.  Membudayakan praktek belajar berbasis digital adalah hal berat, di era ketersediaan perangkat digital sudah dimiliki, hampir disetiap rumah orang tua wali. Kunjungan pendampingan menjadi tindakan yang haram, sementara hak kesejahteraan kerap dituntut kalau terlambat masuk rekening. Di lain pihak, para pelayan umat, lebih memilih diam, malas bergerak mengunjungi umatnya, bahkan memilih ber-kunci dalam kamar, menonton televisi dan bermedsos. Rumah Ibadah ditutup, tetapi pelayanan ritus-ritus, dipaksakan dilakukan, karena ianya menyumbang pada pendapatan institusi. Yaah..semuanya abal-abalan..!

* Kesadaran yang terlambat.
Tatkala Kabupaten Lembata, dikategorikan sebagai Daerah yang diberlakukan PPKM Mikro, semua pihak saling pandang saja, dan tidak nampak rasa bersalah. Mungkinkah, keadaan ini, merupakan dampak dari praktek-praktek penyesuaian New Normal yang abal-abalan selama ini..? Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desanya sinis-sinis, Pemangku kuasa pada gereja-gereja pura-pura kwatir, dan kalangan intelektual lokal dan elit politik lokal, semakin merasa ditekan. Pada titik tertentu, dapat diramalkan apa yang mampu dilakukan..? Semata minta bantuan tunai atau non tunai.  Kalaupun tidak kebagian hasil proposalnya, minimal jadi penyalur bantuan, yang dimediasosialkan untuk cari-cari popularitas.  Yaaah..begitulah tingkat kemampuan dan kepedulian kita, akan keselamatan banyak orang.
Ketika kondisi semakin sulit seperti sekarang ini, apakah Pemerintah Daerah dan jajarannya, mempunyai langkah-langkah praktis yang genius..? Walahualam.. mungkin saja, baru nampak ketika wakil Bupatinya di definitifkan..? Sebuah pertanyaan yang masih mengambang. 

* Menyambut kepiluan panjang.
Sangat mungkin terjadi, bencana ini, dapat melumpuhkan ekonomi dan semua sendi kehidupan.  Bukan karena aturan pembatasan mobilisasi kehidupan atau PPKM dan kembaranya, tetapi kekerasan hati manusia yang sudah mati rasa.  Manusia yang mati nurani kemanusiaannya, dan kesadarannya akan hak hidup orang lain dan anugerah kehidupan yang diberikan Tuhan padanya. 
Bahwa, sangat mungkin, terus terjadi antrian berdesak-desakan untuk menerima jatah kematian, jika kebiasaan hidup kita justru kebablasan karena ego dan kebodohan sendiri.  Bagaimanapun caranya, Pemerintah Pusat, berjibaku memperjuangkan keselamatan bangsa, tidak mungkin berhasil begitu saja, tanpa didukung oleh masyarakat yang sadar dan patuh. Miriss amat.. bangsa ini, memilki segelintir rakyat yang masih berkarakter ibarat anjing terjangkit virus Rabies.  Meskipun mengetahui bahaya di depan mata, namun tetap saja berpikir tolol. Lebih fatal lagi, kondisi yang sering terjadi di kota-kota ini, gemar dikonsumsi oleh masyarakat di pelosok desa. Ibarat orang bebal mengajar orang dungu. Dan pada akhirnya, semua kesulitan yang diakibatkan oleh kekerasan hati itu, akan ditumpahkan sebagai kelalaian Pemerintah Pusat. 

* Tuhan Maha Bijaksana.
Sebuah argument yang paling memprihatinkan adalah, manusia berpikir kematian itu semata adalah Kehandak Tuhan, maka takut akan Covid'19, degan harus menjalani ketentuan protokol Kesehatan, dipandang sebagai umat yang kurang percaya pada Tuhan.  Menurut orang-orang yang berIman secara takabur ini, beranggapan virus Corona itu, tidak akan menjangkitinya, kendati hidup dengan kebiasaannya tanpa protokol Kesehatan. Waah..sangat disayangkan sekali.
Pada zaman serba modern ini, manusia masih menganut keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam dunia nyata, termasuk Pandemi Covid '19, hanya bisa diyakini terjadi kalau Tuhan menulis lagi, wahyu dan sabdaNya. Hal ini, dapat dipandang sebagai cara berpikir yang terpenjara oleh kesesatan praktek berIman kepada Tuhan yang membabi buta.  
Betapa Tuhan itu Maha Bijaksana.  Tuhan telah mengaruniakan kehidupan secara cuma-cuma, dan penerangan roh IlahiNya dengan mengaruniakan ilmu pengetahuan kepada Manusia.  Kalaupun hendak diharapkan sepenuhnya kepada Tuhan, tidak dengan secara radikal meremehkan ilmu pengetahuan. Bukankah, Tuhan telah menaruh kebijaksanaannya pada Pemerintah, para ahli medis dan para pakar di dunia..?  
Cara pikir sesat ini,  lumrah diumbar oleh orang-orang yang mungkin sudah jenuh dengan hidupnya, tetapi pupus rasa kemanusiaannya.  Tidak peduli pada keselamatan orang lain dan cenderung hidup untuk diri sendiri.  Sesungguhnya Corona itu tidak akan lenyap dengan bermodalkan percaya Tuhan dan hidup sesuka hati.  Corona itu hanya akan putus mata rantai penyebarannya dan lenyap dari kehidupan manusia, jika manusia itu sendiri harus mentaati dan menjalankan metode perlawanannya. Tentu saja, dengan tetap bersandar pada Kemurahan dan belaskasih Tuhan. 

* Stop berpikir sempit.
Demi keselamatan bersama dan agar virus berbahaya ini, segera hengkang dari kehidupan kita, tidak ada cara lain, kecuali kita taat Prokes dan setia menjaga imun tubuh. Memulai pembiasaan baru dan membatasi segala budaya berkomunitas yang beresiko pada penyebaran virus.  Orang tua batasi budaya kumpul pesta, ritus -ritus budaya komunitas, perlu dilakukan dengan mengedepankan prokes, gereja-gereja ditutup dan ibadah di rumah saja, dan anak-anak belajar dati rumah.
Berusahalah betpikir luas dan peduli.  Berlakukan penyesuaian dengan sepenuh hati.  Para gembala umat, harus berani menjenguk umatnya. Menjamah umat dengan Kasih dari rumah-kerumah.  Para pendidik harus mampu mengoptimalkan kemampuan untuk membangun belajar berbasis digital.  Selanjutnya, keberhasilan menanggulangi Pandemi ini, akan semakin cepat dicapai, jika Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa, dengan penuh tanggungjawab menjalankan porsinya, sebagai pengayom dan pelindung dan tak terlepas juga, dengan kesadaran masyarakat luas yang total taat pada arahan dan aturan- aturan dimasa Pandemi. 
Mari berjuang berpikir cerdas,...
Karena cara pikir sempit itu, ibarat bom bunuh diri. Tidak saja anda yang terkorban, tetapi sesama mu akan turut di korbankan.  Stop berpikir sempit....
--------------------'xzx.--------'
UbuQ..27/7/21
...... ...... ..... ..... ...... ...... ....... ........




Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....