#celoteh preman desa# ORANG KAMPUNG, BICARA POLITIK,

Coretan sederhana ini, dikemas seadanya, sesuai kemampuan ber-bahasa Indonesia kami di kampung-kampung.  Sambil mengisi waktu longgar, di selah-selah kesibukan harian, urus ternak dan kebun, penulis sengaja menyuguhkan sebuah kisah penjajakan atau bisa disebut study banding ala kampungan, semoga bermanfaat bagi yang membacanya...!!
Topik buram diatas, menjadi materi diskusi yang tak kunjung usai dibahas.  Di ruang formal, debat kusir di warung kopi, hingga jadi pengganti lauk untuk menghabiskan Tuak(minuman dari pohon lontar)dipondok-pondok pak tani dan pada pesta atau acara kumpul-kumpul ala orang di kampung. 

Teringat saja, akan sebuah tulisan seorang tokoh pemikir muda sekaligus politisi Lembata asal Kedang ( maaf tidak sebut nama) menyetil sedikit banyak tentang kewibawaan politik versus kekuasaan dalam kendali Pemodal.  Tulisan ini, hendak mengantar angin berpikir kita, untuk melihat kebelakang, tentang apa yang telah dan sedang terjadi, yang merupakan dampak dari keputusan politik kita, pada Suksesi Pilkada dan legislatif yang lalu. Dengan refrensi tulisan sang tokoh tadi, penulis coba berbagi cerita  dan pikiran, untuk bersama pembaca, merefleksikan dan silahkan berpendapat sendiri-sendiri.  Toh..penulis cuman mengajak berpikir, keputusan nya kembali pada anda.

* politik itu sama dengan baleit (yang berarti putar bale.)
Jikalau anda sudah berkeliling di Kedang dan bertemu dengan orang-orang tua, pada masa suksesi Pemilu misalnya, anda pasti temukan pernyataan yang mengidentikan politik sebagai urusan putar bale ( baleit). Para pemilih tradisional seakan telah menyimpulkan, semua yang di ucapkan seorang politisi, baik secara tertutup maupun terbuka, pasti namanya tetap baleit. 
Pengalaman Penulis, selama bergelut dalam tim sukses dan perjuangan politik Lingkungan, pernyataan seperti ini (baleit) itu mengiris perasaan kecilku.  Mengapa tidak..? Perjuangan politik dalam konteks membela kepentingan banyak orang itu, dianggap sedang ber-baleit atau putar belit.  Namun hal ini, kemudian dapat dimaklumi, kalau orang-orang kampung itu, rupanya telah makan garam.  Orang-orang kampung, terutama pemilih tradisional, sudah terdidik oleh pola politik propaganda primodial, janji palsu, dan politik bayar putus. Pola politik yang telah membudaya bagi kalangan elit politik Lembata itulah, yang membentuk cara pandang masyarakat, atas urusan pilih memilih.  Tidak usah heran, kalau hendak memohon dukungan, sebelumnya diajak omong harga dulu.  Yaah.. memang begitu, karena yang lain pun sama.  Apalagi para politisi sudah dilabelkan, jago baleit atau janji tinggal janji.  
Apakah, fenomena ini, bagian dari tanda-tanda keroposnya sistim demokrasi kita..? Silahkan saja menjawab sendiri, penulis cuman bercerita.

* tradisi Hoa' Pu'en (kedang) yang berarti konsolidasi pemilih pasti dari kalangan kerabat. 
Kemarin-kemarin, kota Lewoleba diguyur teriakan Lawan Oligarki Primodial. Istilah ini, di copast dari slogan-slogan pergerakan, para aktivis anti korupsi, yang berjuang menuntut keadilan hukum bagi proyek-proyek mangkrak di Kabupaten Lembata, yang terjadi di era bupati Yance Sunur (alm).  Kedengarannya istilah yang asing buat penulis. Setelah didalami, rupanya istilah oligarki primodial itu maksudnya matarantai ekonomi dan politik yang terbentuk antara kekuasaan dan keluarga serta kroninya.  Waduuh, cuman sesederhana  itu maksudnya, tapi penulis yang orang kampung ini, harus bongkar-bangkir kamus bahasa Indonesia. 
Nah.. menyadari urusan primodial dan oligarki itu, ternyata haram hukumnya dalam demokrasi, penulis pun senyum-senyum pahit.   Rupanya, konsep berpolitik itu yang diwariskan semenjak Lembata Otonomi, untuk menjadi Kabupaten.  Coba bayangkan berapa lamanya rakyat Lembata terpojok karena cara pikir demokrasi abal-abalan..? Dimanakah peran partai politik dan elit-elitnya dalam mempersiapkan masyarakat Lembata menjadi Otonomi..? Yaah, kalau otonomi daerah tertinggal ,"mungkin", tetapi setidak-tidaknya otonomi politik praktis atau urusan pilih-pilih orang besar itu, bisa dewasa to..!  
Kembali pada tradisi Hoa' Pu'en, yang lazim dilakukan oleh calon-calon politisi Kedang. Urusan ini, tentu mengorbankan waktu dan biaya.  Seorang calon DPRD misalnya, akan menginventarisir kerabat keluarganya seluruh Kedang, baik itu berhubungan darah mulai dari nenek dan moyang, hingga pada jaringan keluarga menantu dari saudara-saudara nya. Yaah.. orang Kedang bilang, Mawu dese' telu tara pute' puli hoa' pu'en(mengumpulkan modal dasar).  Dalam soal ini, dapat dinyatakan, kalau partai-partai politik itu, hanya pinjam benderanya saja.  Soal ketertarikan masyarakat untuk hebat dan tidaknya sebuah partai politik, menjadi nomor terakhir dalam kancah perhelatan suksesi politik di Lembata.  Yang punya suara banyak, tentu saja, calon yang punya jaringan keluarga luas dan banyak atau dengan kata lain calon yang marganya besar.  
Pengalaman primodialisme inipun, nyata terbukti semenjak Suksesi Pilkada Lembata yang pertama hingga sekarang.  Zamannya Bupati Ande Manuk, propagandanya adalah tite hena(kita-kita sj) Dan mulai pada era Bupati Yance Sunur, propagandanya pun Te eha' te pene polung, palan kara wala wau(kita-kita sj).  Dalam dua dinamika ini, kerap terjadi diskusi yang melahirkan stigma-stigma primodial, yang tidak produktif membangun cita, taan tou( bersatu), tubun upal, tawun mawu(bersatu).
Kita omong jujur saja ee..  orang selatan mulai pikir-pikir, calonya kali berikut asal bukan dari Kedang. Demikian juga orang Ile Ape, sudah lama berpola, kalau calon bupati orang Kedang, wakilnya pasti Ile Ape. Demikian juga sebaliknya. Orang Kedang, apa lagi. Dengan bermodal jumlah pemilih yang besar, maunya terus bupati orang Kedang.  Itu satu hal....!  Lanjut cerita dulu ee...!

* Politik melawan Pemodal.
Slogan melawan Oligarki sedang menjadi trend issu hari ini.  Kalangan pergerakan atau aktivis-aktivis Negeri ini, sedang berjibaku mengkonsolidasikan, cara pandang ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya.  Tapi poin besarnya tetap melawan oligarki dan Pemodal. 
Nah.. coba kita bahas sedikit ya...! 
Dalam kategori issu ini, tentu ada yang tersinggung perasaannya, jika ianya adalah Kaum berUang atau setidak-tidak hasil kembang biak dari keluarga berUang.  Meskipun demikian faktanya, kemelut kesenjangan ekonomi, yang sedang dialami masyarakat Lembata, tetap saja menjadi kepentingan besar yang terus diperjuangkan. Sementara, menurut penulis, adalah, apapun resikonya, pemetaan issu oligarki primodial ini, perlu dipetakan kembali, khusus untuk Kabupaten Lembata.  Bahwa, yang terpenjara dalam pola pikir oligarki tidak saja mencakup Pemodal dan anak pinaknya. Tetapi terbukti, matarantai oligarki ini, terajut pada kekuasaan dan birokrasi yang mental peng-abdi.  Dari era kekuasaan Bupati pertama hingga terakhir(YS,alm), jejaring oligarki inilah yang paling berperan dalam menentukan menang atau kalah seorang Calon Bupati.  Apa alasannya, sehingga kalangan birokrasi kita cenderung menjadi abdi kekuasaan bukan mengabdi pada Negara..? Yaaaa.. mungkin saja, birokrasi tersebut, dari sono nya terlahir miskin. Apalagi Kab. Lembata juga, adalah kabupaten tertinggal.  Nah..dengan apa orang mengandalkan keberhasilan pada waktu itu..? Tentu saja, menjadi Pengawai Negeri too..!  Kebobrokan mainset ini, terus tumbuh dan mengakar dan berbuah hingga sekarang too..? 
Alhasil, peluang ini, dimanfaatkan oleh Pemodal yang doyan pada kenyamanan bisnisnya.  Dia suport calon yang berpotensi menang. Siapkan dana-dana suksesi hingga pada uang untuk bayar suara dan fasilitas lainnya.  Harapannya tentu anda sudah tau too..? Yaa.. proyek-proyek dia yang monopoli, harga sembako komoditi dia monopoli, bahan bangunan pun dia monopoli.  Sebagai kenyataannya, masyarakat Kecil, menjadi hamba di tanah sendiri.  Yang itu belum cukup parah.. tanah-tanah atau areal potensial dirampas pake modus-modus kekuasaan dan modal...  hhhh masyarakat tau apa ...? 
Joo.. engko lawan..? Silahkan buat keputusan, toh..penulis cuman bercerita saja.

* Kembali ke topik(Politik Uang). 
Penulis sekaligus pelaku politik praktis, tim sukses dan pelaku pergerakan Masyarakat Adat dan Lingkungan. Yaa..mungkin yang orang bilang aktivis itu.
Pengalaman Serangan Fajar, serangan bawah tanah, pernah dialami selalu dalam setiap suksesi Pemilu.  Lumrah..kalau untuk orang Lembata. Pada setiap bentuk serangan itu, kerap bagi-bagi uang untuk beli suara.  Ada yang merasa miris dan jijik..? Hampir tidak ada..! 
Mengapa orang tidak jijik dengan budaya politik bobrok ini..? Jawabannya sederhana saja. Karena orang- orang di Lembata itu miskin pengetahuan.tentang Politik. Apalagi kalau bicara demokrasi, dikira itu barang macam beras kah, atau daging untuk hajatan politik, begitu. 
Nah, resiko hari ini, yang dituai adalah; buah dari apa yang ditanam.  Kalau pilih orang karena pengaruh untuk bisa tenaga honor di dinas-dinas, biar dapat proyek kecil-kecil,  karena dibeli dengan Uang, atau karena dia semarga-serumpun.  Apalagi pilih orang karena termakan stigma-stigma.  Kedang bodo bayang wato, kucing bertanduk tidak akan jadi bupati, ada demong dan paji, dan stigma-stigma yang lain.  Eeeh..kita lanjut dlu ya..
Lalu siapa yang ciptakan stigma-stigma diatas..?  Weoow.. orang-orang elite politik juga.  Oo ya.. kalau begitu, orang-orang yang dibilang elit-politik di Lembata ini, perlu belajar dari kesalahan sediri..too..?  Bagaimana rakyat Lembata,  dewasa politik, kalau elit politiknya saja, mulut macam ulat buluh..? Ancooor kah..!
Dinamika politik Uang ini, mrrasuk hingga ke politisi lokal yang miskin. Para politisi jenis ini, kemudian meragukan popularitasnya, sehingga berusaha pinjam modal sana-sini, agar bisa ongkos suksesinya.  Diakhir suksesi tambah miskin karena tidak bisa bayar utang suksesi. Bagaiman bisa bayar kalau ternyata perolehan suaranya dinomor buntut..?  Bisa-bisa gila too..?  
Dan masyarakatnya baru mulai mengerutu.  Ada yang tidak senang karena anaknya tidak jadi PNS, ada yang marah karena harga sembako makin tinggi, ada yang jengkel karena tanah leluhur mrreka dijual serahkan saudaranya kepada Bupati (misalnya), ada yang demonstrasi karena banyak proyek mangkrak, korupsi dan lain-lain.  Pada kondisi seperti ini, ada yang komentarnya di medsos, "itulah pilihanmu,  aku tau apa yang kamu mai"...!  Pokoknya miriss deh...!! 

* Hidup harus diteruskan.
Hakekatnya, penyesalan itu selalu datangnya terlambat. Apapun, ketidakmampuan kita berpolitik dan berdemokrasi, tetap menjadi catatan kaki disetiap perjalanan perjuangan politik kita.  Orang Lembata akan maju dan berdinamis dalam kehidupan ekonomi politiknya, jika terus memegang teguh petuah leluhur. "Taan tou, tubun upal tawun mawu"(bersatu), tite hena( kita satu)..dan Petuah leluhur Kedang mengatakan;  te yo piling pene polung, palan sio wala' wau, iden ne te tode we, mawa' ma te pan polung(sda). 
Pendidikan politik yang bijak, menjadi tabggunghawab setiap elemen bangsa, terutama partai politik dan para elitnya.  Selanjutnya, proses pendewasaan diri, dalam peningkatan kapasitas, seharusnya dimulai sejak dini.  Orang-orang muda harus diberi ruang mendominasi pemikiran politik, dan orang-orang tua harus berani melepaskan ego dan kedangkalannya. Belajar dari kondisi Lembata hari ini, sudah saatnya, dibuang cara pikir rasis, primodial ataupun politik identitas. Semua itiu hanya akan memenjarakan cara pikir kita, terus betkatut pada kepentingan diri dan sentimen sosial yang tidak produktif.  
...mari gunakan akal sehat, karna hanya dengan akal sehat bangsa ini selamat...Ade Armando..Cokro TV....
....UbuQ...edisi Juli 2021...
....... ..... ..... ..... .... ..... ...........





Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....