DEKLARASI WISATA BERBASIS MASYARAKAT, SERTIFIKAT KEPEMILIKAN LAHAN TERANCAM DICABUT(Mampir; 26 des 2020)

Tanggal 26 Desember, sesungguhnya hari kedua yang dirayakan, setelah 25 Desember, Perayaan Pesta Natal bagi umat Katholik.  Namun hari ini sanggup dikorbankan, oleh masyarakat desa Mampir, kecamatan Buyasuri, menggantikan kegembiraan perayaan mereka dengan menghadiri agenda reses seorang putra tanah sendiri yang duduk dikursi Anggota DPRD Kab. Lembata, yang bertepatan dengan hari bahagia ini. 
Digelar pada sore hari, di ruang aula SDK Biarwala, Gregorius Amo, anggota DPRD dari partai PKB, hadir menjenguk basis konstituennya, yang sebagian besar mendukung beliau, hingga sukses memenangkan satu kursi, dalam suksesi PEMILU Legislatif 2019.  Dihadapan, lebih kurang 200 orang warga yang hadir, beliau menggambarkan semua carut-marut polemik, dalam dinamika komunikasi kepentingan politik, yang sengaja kami sebut sebagai Dinamika politik Anggaran yang abal-abalan. Bagaimana tidak, perjuangan masyarakat Desa Mampir akan Ijin Oprrasional sekolah Menengah Pertama, yang dibangun secara swadaya, sekian tahun yang lalu, terkesan digantung-gantung. Demikian juga dengan usulan pembangunan yang lainnya.  
Gaya komunikasi politik anggaran yang penuh muatan kepentingan Pemerintah Daerah, cenderung harus barter.  Jika anggota DPRD, ada yang tidak sepakat, atau mengkritisi rencana anggaran yang telah disiapkan Pemerintah, sudah pasti lobi-lobi anggaran untuk konstituennya akan dicoret. Kondisi ini, menjadi kendala, yang terus dialami oleh anggota DPRD yang bersikap kritis pada rencana anggaran dan program Pemerintah Daerah.  Sebaliknya, jika anggota DPRD yang berjiwa 'Yes, bos', aspirasinya akan diutamakan. Lebih ribet lagi, jika rencana pengembangan wisata. "Masalah aksi warga Desa Mampir tetkait rencana pengembangan wisata di area Paheng Waq, menjadi bumerang atas usulan-usulan pembangunan yang sasarannya untuk Desa Mampir",  penggalan penjelasan Gregorius Amo diawal sambutannya. 

Yang menarik dalam reses kali ini adalah, masalah rencana pengembangan pariwisata di calon area Paheng Waq, Desa Tobotani, yang akhir-akhir ini, menuai polemik karena pola pendekatan dan konsolidasi publik yang terkesan tidak mengindahkan kehendak mayarakat. Sebagaimana pemaparan awal Gregorius Amo dalam sambutannya, menyatakan kepada warga Desa Mampir, bahwa Bupati Lembata sangat tersinggung dengan aksi Deklarasi Konsep Wisata berbasis masyarakat, yang digelar oleh warga Desa Mampir, 22 November 2020, yang lalu. Beliau sempat menggambarkan bagaimana ekspresi kemarahan Bupati Lembata, yang sempat menghubungi beliau, dan mengancam akan mengarahkan Badan Pertanahan Negara, untuk mengevaluasi kembali dan kalau perlu mencabut semua sertifikat kepemilikan lahan disekitar area tersebut. "Wilayah ulayat itu, bukan kamu punya. Nanti saya suruh orang BPN, untuk evaluasi kembali semua sertifikat kepemilikan disitu",  kata Gregorius Amo dalam sambutannya, menggambarkan respon Bupati Lembata.
Informasi yang sangat meresahkan ini, kemudian ditanggapi dengan penuh kekecewaan oleh masyarakat yang hadir. Suara-suara penyesalan warga, menyesali sikap seorang Bupati Lembata, yang dinilai tidak mendengarkan rakyatnya, dan malah cenderung mengadu-domba masyarakatnya sendiri.  Respon seorang Kepala daerah yang tidak pro rakyat itu, dinilai sebagai ada udang dibalik batu. "Jangan-jangan Bupati Lembata itu, hendak rampas tanah saya ee." Keluh salah seorang ibu ditengah hangatnya dialog.  "Kami menuntut untuk wisata berbasis masyarakat.  Lalu sertifikat kepemilikan dievaluasi, masuk akalnya dimana ?, kata Siprianus Likur dalam sesi dialog yang cukup tegang.  "Bupati Lembata itu, kalau mau urus wisata, datang bertemu dan sampaikan dengan baik pada masyarakat. Ini tidak, diam-diam datang ketemu dikebun dan minta pembebasan 100 meter dari bibir pantai. Saya jadi terkejut",  demikian komentar bapak Lorens Lado.  Beliau adalah warga sasaran, yang diketahui pernah diminta oleh Bupati Lembata, pembebasan kaplingan lahannya seluas 100 meter dari pantai, mencakup  sebuah bukit kecil dipantai peheng Waq, sebagai tapak pembangunan rumah singgah. 

 Menjawab semua keresahan masyarakat tersebut, Gregorius Amo, anggota DPRD Lembata, berjanji untuk berupaya menjadi penengah, untuk menyampaikan kehendak masyarakat Desa Mampir, kepada Pemerintah Daerah Kab. Lembata. Kendati demikian, penyesalan warga atas respon Pemerintah Daerah yang cenderung profokatif tersebut, turut membuahkan keraguan, jika persoalan ini dipercayakan pada anggota DPRD, Gregorius Amo semata. Warga menghendaki agar, Pemerintah harus datang bertemu dengan masyarakat dan membicarakan dengan jelas, konsep wisata seperti apa yang hendak dikembangkan di area Paheng Waq. "Jangan tiba-tiba, utus kaki tangan datang dengan tidak melibatkan semua orang. Diam-diam, bilang warga lepaskan lahan untuk itu ini, tanpa pendekatan yang baik", kata Frans Haliwala.  Keraguan akan ketulusan Pemerintah Kabupaten Lembata dalam rencana Pengembangan Wisata Paheng Waq,  cukup beralasan. Hal ini nampak dari kecenderungan pengklaiman area lahan olah warga, dengan alasan ketentuan aturan.   Tanda-tanda awal ini, menunjukan, arah  rencana pengembangan ke depan yang semata untuk kepentingan pemilik Kuasa dan Modal. Sementara kepentingan dan hak-hak orang lokal dalam bisnis wisata tersebut, cepat atau lambat akan lenyap. Apalagi, pada awal-awal rencana, sudah nampak intimidasi dan ancaman seorang Bupati Lembata, sebagaimana digambarkan oleh anggota DPRD, Gregorius Amo.

Apakah, ini tanda-tanda awal modus operandi perampasan lahan masyarakat dengan dalih pembangunan..?  Yang pasti jawabannya ada pada Pemerintah Daerah Kab. Lembata dan DPRD Kab. Lembata. Berkaitan dengan pertanyaan ini, warga Desa Mampir dalam akhir kegiatan reses anggota DPRD Kab. Lembata tersebut, sekaligus menitipkan Surat Pernyataan Sikapnya,  yang semenjak Deklarasi wisata berbasis Masyarakat, 22 November 2020, belum dapat diserahkan, karena alasan bencana erupsi Ile Lewotolok. Masysarakat mempercayakan kepada beliau, untuk menyampaikan tuntutan mereka, sekaligus membuka ruang dialog apabila ada itikad baik dari Pemerintah. 
Di akhir kegiatan reses, Gregorius Amo, anggota DPRD Kab. Lembata, dalam sambutan penutupnya, mengharapkan agar warga tetap solid mempertahankan hak-haknya, dengan tetap menjaga kenyamanan bersama dan jangan pernah takut dan mundur. "Kita orang Desa Mampir, sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Kita sudah biasa menghadapi kondisi, paling sulit sekalipun. Oleh itu, jangan pernah takut dan terus kuat berjuang",  kata Gregorius Amo.****

                                       Oleh :emanUbuq.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....