Lulun Loman Laman Laleng. Lepi' Letu' Leteng Ubeng

Kedang (Edang) merupakan sebuah komunitas adat yang mendiami tanah adat(ulayat) Uyelewun.  Komunitas yang unik dan terbilang kecil populasinya ini, hidup secara turun-temurun disekeliling lereng gunung uyelewun (nama gunung ini mengabadikan nama leluhur Kedang, Uyo Lewun) dengan tanah adat yang dalam versi tutur-tutur sejarahnya, disebutkan dari Leur sape Suba, tubar bota ili lein deke' nala'.  Etnis adat yang menghuni ujung timur pulau Lembata ini, suatu ketika dulu, mengklaim batas wilayahnya hingga Nuha wu' ( Nuha nera) dekat Tapobaran Kec. Lebatukan. Hal ini  diperkuat dengan keberadaan desa Dikesare/Leulein yang pada zaman kekuasaan Rian Bara' Sarabiti masuk dalam klaim wilayah Kedang. Dan kemudian dalam penataan wilayah Kabupaten Lembata, Dikesare masuk dalam wilayah Kec. Lebatukan untuk kemudahan pelayanan kepemerintahan..

Menggali kembali sejarah peradaban komunitas Kedang, sangat panjang dan berjilid-jilid kalau ditulis. Penulis memilih judul diatas untuk coba menggambarkan secara garis besar sejarah peradaban etnis Kedang dalam kaitan khusus penguasaan tanah atau wilayah hidup sebagaimana diwasiatkan oleh kearifan Leluhur Kedang dari zaman ke zaman.

Sebagaimana diketahui dalam tutur-tutur adat terkait wilayah hidup(alam kehidupan) dalam Keyakinan Wela (keyakinan yang kemudian disebut adat-istiadat Kedang) melarang untuk mengklaim batas tanah(wilayah) bagi semua komunitasnya. Dotrin ini sangat berhubungan dengan penghayatan akan kesakralan Bumi/tanah yang dalam keyakinan Wela dipandang sebagai Pemberi Kehidupan yang adalah wasiat leluhur yang satu dan sama (Uyo lewun). Lebih dari itu, Keyakinan Wela menegaskan untuk wajib menghormati tanah sebagai wujud KeIlahian Pencipta yang hanya punya nama yang luhur dan sakral. Tanah dipandang sebagai Ibu, yang mengandung dan melahirkan makhluk hidup. Sehingga penghormatan akan alam ( bumi dan ekosistemnya) merupakan hukum wajib dalam keyakinan Wela. Adapun sebutan lokal yang menggambarkan doktrin itu, kerap dituturkan demikian; ( wula loyo ero awu', Uhe ara niku niwang, Ino weli tuan tana, kepa kire' wahin sara, mole eru' ha'i longo', Duli ria pali Kedeng, ka tamal min wei toto' wange duhu a'ang, Puting kara paheng nanga puli mulung, pua' hoka ledo pan, awu' bara' pua' nueng, awu' aha' pan wati'.
(Janganlah diantara kamu mengklaim atau menanam tapal batas, dan mengatasnamakan tanah itu milikmu, ianya diberikan untuk hidup semua orang). Pengertian secara keseluruhan kira-kira demikian. 

Zaman Nomaden( pindah-randah)
....................................................
Zaman ini dalam sebutan lokal dinamakan Dorong dope'(Nomaden). Dijangkakan komunitas purba dizaman ini hidup bergantung pada hasil alam( makanan buah dan umbi2an dan binatang buruan dan berkarang). Dizaman ini tentunya hukum alam yang dipakai atas wilayah hidup sebagaimana doktrin diatas. Etnis purba yang masih sangat sedikit jumlahnya itu, hidup dengan menghormati hukum-hakam alamnya. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. 
Ada versi yang menuturkan habitat manusia awal mula Kedang, berasal dari puncak gunung Uyelewun dan berhijrah ke lereng datar bermukim di tanah adat Leuwayan dan berpecah dan mencari kehidupan hampir kesemua arah diseantero tanah Uyelewun. Adapun versi lain yang menuturkan bahwa titik pertama pemukiman etnis Kedang berawal dari Edang aya' wei laong, di tanah adat Kampung Leuhoe. Dan ada lagi versi yang menuturkan bermula dari Peu uma sawa.  
Apapun versinya, tetap saja menunjukan bahwa etnis Kedang itu telah ada semenjak zaman prasejarah dengan memilki asal keturunan yang satu dan sama (bdk. Silsilah etnis Kedang).  Dalam tutur-tutur adat dapat diketahui bahwa kehidupan di zaman purba sangat taat dan patuh pada hukum-hukum alam (Keyakinan Wela).

Zaman Gletser ( mencairnya es dikutub utara).
..............................................................
Masuk pada zaman ini, dijangkakan telah terjadi exsodus(penghijrahan) etnis bukan Kedang ke wilayah Kedang. Etnis-etnis ini mendiami area pesisir pantai Bean dan wilayah perbukitan disekitarnya(riwayat Ia Laru dan Legenda Utan nalan).  Besar kemungkinan bahwa etnis yang berhijrah ke wilayah Kedang akibat naiknya permukaan air laut dan menenggelamkan daratan ini, adalah etnis Lepan batan/lamaholot.  Adapun versi yang menuturkan bahwa etnis yang berhijrah itu adalah etnis Kedang, turunan Uyolewun yg berpindah ke daratan lain dan kembali lagi ke Kedang. 
Beragam versi tutur ini tidak menjadi alasan untuk menemukan titik temu terkait klaim wilayah hidup atau ulayat di Kedang pada zaman ini.

Nanga atur la' ledur, ang ba'a ote eleng, ular doro ole awu'(Ang ba'a Ular doro)
(Klaim penguasaan wilayah hidup).
.........................................................
Seiring dengan kedatangan etnis Lepan batan ke Kedang dan mendiami beberapa titik di area pantai Bean dan sekitarnya, dijangkakan diera ini terjadi perebutan wilayah hidup. Etnis asli Kedang yang awalnya bermukim diatas gunung Uyelewun, mulai terdesak oleh komunitas lain yang bermukim di pantai, mempertahankan hak penguasaan atas wilayah pencarian kehidupannya(bdk. Tutur tentang Tuan nimon awu' wala yang kemudian lazim disebut Duli Uhe wala). Klaim penguasaan dan sengketa perebutan ini berlangsung sangat lama(bdk. Tutur riwayat Ribu Kai dang, Mau Kai dang, riwayat Mi'er Beni hitong, Mi'er Ope Keto', Mi'er Beni Mau, Mi'er Hide Tawang, Mi'er Kia rian moi lating dan masih banyak lagi).  Sejarah peradaban di zaman ini tentunya menganut hukum Rimba. Siapa kuat dia bertahan. Dari riwayat-riwayat inilah lahir istilah Awu' nore nimon Duli nore Naya, Nanga atur la' ledur Ang ba'a Ular Doro(klaim Penguasaan wilayah hidup dengan menjadikan nama-nama Mi'er( pendekar) diatas sebagai tuan tanah ( pemangku) ulayatnya. 
Bukti-bukti pembauran peradaban antara peradaban Wela(Kedang) dan peradaban Lepan batan dapat ditemukan pada struktur dan penempatan Lapa'(mesbah) Wula loyo ero awu' dan Nuba nara pada kampung adat (Leu tuan) masing-masing kampung. Peradaban Wela meyakini adanya sang Pencipta yang maha agung, yang digambarkan kebesarannya ibarat Matahari dan Bulan serta meyakini juga ada wujud Keilahian di dalam perut bumi( Uhe ara, ero awu') sebagai kekuatan bumi yang berkuasa menghidupkan semua makhluk diatas bumi. Sementara Peradaban Lepan batan meyakini bahwa Nuba nara atau mesbah yang tertanam dipusat kampung itu menjurus ke arah rasi bintang yang disebut Popo' libur ate di'en lia hura' manusia( manusia dan segala kemakmurannya berasal dari sang Pencipta yang digambarkan kebesarannya ibarat bintang fajar ( Lia) dan karunianya yang limpah ibarat banyaknya bintang-bintang ( Popo'). 
Alhasil hari ini kedua bukti peradaban hari ini tetap diyakini dan seakan sama keluhurannya. 
Penulis hendak kembali pada dampak dari perebutan wilayah hidup. Setelah berabad-abad hidup sebagai manusia lama, kemudian baru tertata kembali peradaban yang rukun dan terpimpin diera masuknya pengaruh kolonial.

Zaman Kekuasaan Rian bara' Sarabiti.
(Empayar Kedang). 
................................................................
Dijangkakan kekuasaan Rian Bara' sarabiti di Kedang berhasil mencetus beberapa catatan kearifan yang dapat disebut Kebijaksanaan Rian Bara' Sarabiti. Diantara semua kebijaksanaan itu, penulis mengangkat kebijaksanaannya untuk mengakhiri perjalanan panjang sengketa klaim ulayat/ Ang ba'a Ular doro, di seluruh Kedang. Mencetus perdamaian untuk rakyatnya dengan menggulirkan aturan adat (Sayin Bayan) yang disebut Sayin Pai' oyo' la' oyo', Pai' ma la' ma, ude' la' nope ude' la' ne'e ( kepemilikan komunal atas tanah adat Uyelewun). Kebijaksanaan yang lainnya yang paling luhur adalah mendeklarasikan empat puluh empat kampung dalam bingkai kekuasaan Rian Bara' Sarabiti(tuba' Leu). Dengan demikian tidak ada lagi perbedaan etnis di tanah Kedang. Baik Lepan batan maupun Anak tanah asli Uyelewun menjadi satu kesatuan etnis yang di sebut Etnis Kedang. 

Untuk sebuah Keharmonisan, tidak ada lagi cerita, ada yang pendatang dan ada yang asli. Deklarasi kesepahaman ini dalam tutur-tutur adat dikenal dengan istilah, Lulun Loman Laman Laleng, Lepi' Letu' Leteng Ubeng( ada kisah yang dapat di ingat selamanya dan ada kisah yang pantang untuk diungkit bangkit). Betapa bersyukurnya komunitas Kedang di zaman ini, hidup dengan tatanan baru yang pada dasarnya telah ditegaskan oleh Keyakinan Wela sejak awal mula. Bahwa Tanah itu ibarat Penguasa Kehidupan, namanya agung dan sakral, yang semestinya dipinjamkan oleh Pencipta untuk kehidupan bersama.
Meski demikian bersyukurnya komunitas Kedang di era itu, kehidupan bersama dan eksistensi kekuasaan Rian Bara' Sarabiti tetap saja mendapat tantangan. Ada satu komunitas Kampung yang disebut Dolulolo', tidak mau bergabung dalam administrasi kekuasaan Rian Bara' Sarabiti.  Sebagaimana tutur sejarah yang ada, di zaman ini kampung Dolulolo' malah terus betusaha memainkan pengaruh untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Namun, lagi-lagi kearifan itu lahir yang mendamaikan dan luhur, ketika pengaruh Kerajaan Islam memulai pengaruhnya di tanah Kedang, tercetuslah persepakstan damai yang dalam istilah lokal disebut, Dolu teteng Sabo', Ailiur bora' wula.  Semangat persaudaraan yang kuat sebagaimana amanat leluhur awal mula kembali menjadi perekat.
Penulis sengaja tidak menuliskan sekian banyak kisah yang merupakan bukti-bukti tantangan dari dalam yang menggoyang eksistensi kekuasaan Rian Bara' Sarabiti. Tentu ada banyak sekali riwayat perang dan persengketaan yang merupakan bukti-bukti betapa kuat dan kokohnya Kekuasaan Rian Bara' Kedang yang kerap dijuluki Goa ite wela Raya ole wata.

Sayin Tua' Teda' , Bayan Wa' miwa'
..kepemilikan orang perorangan..
..................................................................
Perjalanan panjang kekuasaan Rian Bara' Sarabiti yang kemudian, tahtanya diwariskan pada anaknya dan cucunya, tidak selamanya setia pada kehendak-kehendak peradaban Wela, yang cenderung mengasihi alam dan sesama.  Nafsu akan kebesaran kuasa ini,  kemudian membuat pewaris tahtanya mulai goyah kesetiaan dan terjadilah klaim-klaim penguasaan ulayat yang pada dasarnya adalah milik Komunal. Dalam kondisi ini dituturkan telah terjadi klaim hak upeti atas hasil pangan dan pencaplokan lahan-lahan strategis dan potensial menjadi kuasa mutlak keluarga dan kerabat Rian Bara'...! Berangkat dari ketidakadilan inilah muncul tokoh-tokoh yang berjuang untuk melawan kekuasaannya(bdk. Riwayat Mi'er sililaka). Fenomena yang tidak kondusif ini dijangkakan terjadi diera menjelang kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketidakadilan ini berlanjut hingga sekitar tahun 1950-an. Di tahun-tahun akhir 1950-an, gerakan melawan kekuasaan borjuis ini semakin marak. Digerakan oleh Guru-guru pertama di Kedang yang tergabung dalam Partai Katholik Indonesia(Parkat) dan di dukung oleh kelompok Imang Gilo(Abdurahman Sarabiti Cs) salah seorang tokoh kerabat Sarabiti, terjadilah aksi-aksi menentang kekuasaan Rian Bara'. Penulis sengaja tidak menguraikan kisah-kisah perjuangan dalam tulisan ini, karena tulisan ini dimaksudkan hanya untuk menerangkan hakekat penguasaan ulayat dalam komunitas adat Kedang. Namun tetap saja dikisahkan keberhasilan perjuangan melawan nafsu borjuis Rian bara' pada waktu itu. Bahwa perjuangan yang panjang dan melelahkan ini kemudian berbuah manis, dengan tercetusnya Mubesrata( musyawarah besar rakyat) Kedang, bulan Januari, tahun 1961 di desa Leuwayan. Yang dihadiri oleh keterwakilan empat puluh empat (44) kampung dengan keputusan mengembalikan hak penguasaan lahan (tanah) kepada hak orang perorangan, dengan metode klaimnya tergantung pada kemampuan membuka lahan dan menanam tapal batasnya masing-masing dan memenuhi syarat Aturan-aturan Pokok Agraria yang baru di Undangkan. Dalam istilah lokal kesepakatan adat ini di sebut Sayin tua' teda' bayan wa' miwa'....

Semangat Kesatuan dalam Sayin tua' teda' bayan wa' miwa"
......................................................................

Mengamati fenomena hari ini, dalam kaitan dengan hak penguasaan atas lahan, terus terjadi perbedaan tafsir atas semangat Sayin Tua' Teda' Bayan Wa' Miwa'.  Segelintir orang mempolitisir semangat keberpihakan kesepakatan seluruh Komunitas Kedang sebagai media untuk mengklaim kembali penguasaan wilayah hidup sebagaimana diuraikan dalam paragraf terdahulu tentang Kedang di zaman Nomaden. Perlakuan istimewa dan mutlak, hak atas ulayat di Kedang tidak dimaksudkan oleh Sayin Tua' teda' Bayan Wa' miwa' untuk seutuhnya pada pemangku ulayat yang namanya dituturkan atas kekuatannya di zaman Gletser dan Nomaden. Sesungguhnya Tuan atas ulayat Kedang itu satu dan sama, yakni seluruh masyarakat Kedang. 
Bahwa dalam tutur sejarah, perhelatan kontra kekuasaan yang dipelopori oleh para guru-guru Katholik pada waktu itu adalah didasari oleh semangat pembebasan komunitas jelata yang sekian lama ditindas oleh kekuasaan borjuis. Tidak untuk dikembalikan kekuasaan atas tanah kepada penguasa sebelum lahirnya empayar Kedang. Bahwa pada waktu itu, sasaran perjuangan pembebasan adalah wilayah hamparan Tobotani..? Iya...    Bahwa pada waktu itu dihadirkan tokoh'-tokoh tertentu sebagai wakil komunitas pemangku menurut versi Ang ba'a ular doro..? Iya...  tetapi semangat kesatuan sebagai komunitas adat dan kesetaraan hak atas tanah itulah yang dianut oleh semua keterwakilan yang hadir. 
Yang perlu dicatat adalah, telah terjadi pelepasan hak kuasa yang diungkapkan oleh pemangku ulayat versi ang ba'a ular doro, bahwa, barang siapa yang mengolah lahan kosong, dan merasa mencintai lahan tersebut, wajib memastikan batas-batasnya dan mendapatkan surat pajak untuk membayar pajaknya, dan lahan itu miliknya turun-temurun. Inilah yang kemudian disebut oleh pewaris hari ini sebagai Hibah Mulut. Dari tutur sejarah beberapa pelaku sejarah ini, bahwa yang mengeluarkan pernyataan hibah diatas diantaranya Bapak Demong Boli(wakil komunitas Kampung Wa' Lupang). Pernyataan hibah inilah yang kemudian membebaskan para petani dihamparan Tobotani untuk tidak di pungut upetinya oleh Rian Bara".  Keterwakilan 44 kampung itu memenangkan sengketa pengklaiman tanah dan upeti yang digulirkan oleh Rian Bara'. 

Waktu terus berlalu, musim berganti. Kekalahan secara politik atas rakyat jelata yang diera sebelum kemerdekaan RI adalah rakyatnya sendiri, bukan hal yang mudah untuk diterima.  Pengaruh klaim dan upeti tetap saja dilakukan oleh para kerabat Rian Bara'. Masa-masa kekuasaan yang telah berlalu, namun pengaruh klaim kekuasaan borjuis tetap saja menjadi duri dalam daging bagi masyarakat jelata.  Ketidaknyamanan karena hidup dalam penindasan, menjadikan masyarakat Kedang di semakin nekad untuk melakukan perlawanan kepada pihak borjuis. Tercatat dalam sejarah Kedang, perhelatan ini baru berakhir sekitar tahun 1970-an setelah ikon kekuasaan borjuis yang getol melakukan penindasan terbunuh. Nyawanya jatuh ditangan pasukan panglimanya sendiri(Goa ote wela). 

Fenomena Borjuis ala Modern.
.............. ............... ..........................
Riwayat keperkasaan dan kepahlawanan yang kerap digambarkan dalam tutur-tutur adat, yang mengisahkan sosok-sosok petarung di zaman nomaden hingga zaman Gletser, hakekatnya ada hampir di setiap rumpun atau kampung dalam komunitas Kedang. Sebagian besar kampung mengabadikan riwayat ketangguhan Mi'er atau pendekar-pendekarnya sebagai kenangan sejarah. Namun ada juga yang membangkitkan kembali roh "menguasai" dengan tutur-tutur lama ini menjadi dasar klaim-mengklaim. Sadar atau tidak masa-masa kejayaan sebagaimana riwayat Mi'er atau pendekar kampungnya, justru telah berakhir sekian abad yang lalu. Kisah-kisah lama peradaban yang punya pengaruh pada dinamika tatanan kehidupan lokal di Kedang tidak laik lagi untuk tatanan hari ini.(bdk: Kedang sebelum zaman kolonial).  Penulis merespon fenomena ini sebagai politisasi penguasaan Ulayat yang sengaja menutupi sekian banyak kearifan-kearifan dari zaman ke zaman. 

LULUN LOMAN LAMAN LALENG, LEPI' LETU' LETENG UBENG.
( Sumpah Perdamaian antar etnis).
.....................................................................
Menanggapi fenomena politisasi penguasaan ulayat (klaim sepihak) yang kerap dijuluki Uhe Wala, penulis menelusuri sebuah tutur lama, yang semestinya dihayati oleh generasi Kedang hari ini sebagai Kearifan dan kebijaksanaan leluhur yang harus dihidupi sepanjang hidupnya. Tutur lama ini sekaligus dipilih menjadi judul tulisan ini. 
Merangkum semua tutur sejarah penguasaan ulayat semenjak zaman Nomaden hingga lahirnya Sayin Tua' teda' bayan wa' miwa'(Aturan-Aturan Pokok Agraria tahun 1960),  penulis menemukan ada sebuah persepakatan damai yang "mungkin" sengaja tidak diangkat kepermukaan karena ianya berpotensi untuk melemahkan posisi tawar pihak-pihak yang bernafsu borjuis. 
Orang-orang dulu dizaman Rian Bara' Sarabiti dengan berani mencetuskan sayin bayan( persepakatan) adat untuk menengahi sekaligus mengakhiri sengketa klaim wilayah hidup, Ang ba'a Ular doro antar etnis di zaman ini. Tibalah saatnya untuk tidak mengingat dan menuturkan lagi perbedaan etnis( pendatang dan asli). Semua rumpun kampung dan etnis yang hidup dizaman tersebut diakui bersatu dan menyatu sebagai Orang Kedang dalam Kekuasaan Rian Bara' Sarabiti. Tiba saatnya untuk mengakhiri nafsu klaim mengklaim antar etnis dan rumpun. Tidak ada lagi etnis Lepan batan di Kedang. Semuanya membaur sebagai Orang Kedang.
Nah... mengamati fenomena hari ini, dimana sengketa-sengketa kepemilikan cenderung memanfaatkan issu Ang ba'a ular doro atau Tuan Nimon Awu' wala, berpotensi untuk membakar kembali sekam yang sudah terkubur. Tentu saja ibarat api dalam sekam yang kapan-kapan bisa berkobar dan pada waktunya akan hidup lagi bencana klaim meng-klaim, bahwa ada rumpun yang asli turunan Uyelewun dan yang lainya etnis pendatang. 

Apa yang mesti dikonsolidasikan...?
....... ....... ....... ....... ...... ...... ....... ........
Semangat kesatuan etnis yang awalnya secara komunal memiliki hak atas tanah Ulayat di Kedang, telah secara arif dan bijaksana dalam semangat keluhuran doktrin Keyakin Wela ( keyakinan lama), telah secara alamiah menata peradaban komunitas Kedang. Kendati mengalami perhelatan panjang dari masa ke masa, namun kemudian menemukan titik baiknya. Hingga saat ini, terjadilah klaim kepemilikan atau penguasaan tanah atas nama orang-perorangan srbagaimana semangat Sayin Tua' teda' Bayan Wa' miwa' .. ! Penulis menyimpulkan saja tulisan yang tidak lengkap ini, bahwa niat luhur, setiap leluhur Kedang yang merupakan pelaku sejarah eksistensi etnis Kedang, pada dasarnya mewariskan kearifan dan kebijaksanaan dalam aturan-aturan adat (sayin bayan). Melahirkan setiap generasinya untuk tetap arif dan bijaksana. Menganut rasa senasib dan sepenanggungan. Kendati tanah adat Kedang ini tidak dikuasai secara komunal lagi, tetapi ianya telah bijaksana diakui untuk di klaim atas nama anak-cucu Uyolewun itu sendiri. 
....mari belajar melupakan kisah pahit yang berpotensi memecahbelahkan persaudaraan Kedang dan bergerak maju dalam semangat keharmonisan yang satu,
...inan ude' aman eha', a uda tin doha, erung nerung bore' nore', ruen meti erung derung, nimon oi palan kare, tangen o mo'o, ta'in rei' te'e......
 ..... lepaskan segala luka-luka sejarah....
Lulun loman Laman Laleng, Lepi' Letu' Leteng Ubeng
............. ......... ........ ......... .......... ............


             By UbuQ
          Edisi Nov 2020
........................................



Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....