#Menghitungharipolitikkampungku#


                 Kicau di tepian asa
           (Elegi politisi sendal jepit)
                         Eman ubuQ
................................................
Dari atas gunung yang kering tandus. Di tepian tanjung dan tebing bebatuan. Nyaris tak terbaca lagi, kisah-kisah indah kita.  Terukir di wadas dan kulit pohon Palawan.  Tergores di dada gurun kerontang. Puing-puing waktu yang tersisa.  Menanti kehampaan berikut dan berikutnya. 
Kaki ku melangkah goyah.  Semakin lamban dihambat temali onak rerumputan.  Ku coba mengangkat wajah ke langit. Derik rancuh limbah ulat bulu, berhamburan menimpa dedaunan.  Sesekali jemariku refleks merambah punggung dan kaki ku.  Rasa gatal melanda seketika. "Ahh..dasar, ulat bulu!" Hatiku menggerutu.  Dedaunan meratap pasrah. Urat seratnya ludes dimamah. Rakusnya ulat buluh.  Hama predator lunak yang mengerikan.  Melumat buas hijau semak dan hutanku. Seketika alam nyaris luluh lantak.  
Kerap juga aku meringis. Betis diserang duri belukar. Iya..belukar liar dan garang.  
Kebun ku, kebun kita kian terlantar.  Gulma dan semak bebas membiak.  Ilalang merambat semakin luas.  Dan batu-batu terasering tak terurus.  Aku lelah. Cape. Namun kodratku anak ladang. Sedangkan kawan ku, menyangkali ibu.  Umpama legenda si Malin kundang.
Burung Camar mengusik tidur siang ku.  Bocah berisik gaduh di tepian lorong.  Bola kumal bekas, yang di buang grup Karang taruna desa, bergelinding lusuh mengarah ke Ebang tempat istirahatku.  "Hei kamu, ngaco saja. Sama macam bapak mu di parlemen sana. Aku mau istirahat!" Aku bergumam dalam hati.  Aku tidak berani menghardik bocah-bocah kampung itu. Rasanya hendak ku tarik ranting dan merajam.  Tidur siang ku sungguh terpotong.  Sementara aroma limbah ternak di pinggir rumah, terus mengusik indraku. Semuanya  menambah tensi siang semakin tinggi.  Emosi hendak membludak. Ku telan paksa saja kembali dalam hati. "Sama saja kalian dengan anggota DPRD kita.  Harum di bibir amis di hati. Aroma ketiaknya khas, mirip aroma lipatan rupiah yang baru dicabut dari ATM.  Duduk mem-beo, dari periode ke periode.  Datang, Duduk, Dengar, Ngantuk(D3N)!"  Nurani jelata ku berbisik perih.  
Mungkinkah terasering kebun kembali terurus..? Kapan ladang yang beronak duri dirambah bersih dan membuahkan kehidupan..? Tanah ini kian tandus dan gersang.  Di singgasana ruang rakyat itu, mulut-mulut wakil ku kian tersumbat dahak kesumat warisan penggarong.  
Ku baringkan kembali kepalaku. Anganku menatap kandas di langit-langit Ebang.  Hendak ku menjerit, menangis, merintih dan ingin rasanya ku mencaci maki.  Namun ..... terlintas dibenak ku. Undang-undang Hukum Pidana baru disahkan.  Rakyat kecolongan.  Pasal-pasalnya menjadikan hak imunitas Orang Besar di Negri ini semakin kebal dan tebal. Takuuut..
Bulan pertama tahun ini.  Lazimnya alam menari ganas.  Sudah lumrah di tanah ku.  Angin badai di musim penghujan. Gunung ku berkabut pekat.  Hari ini, hujan seakan lelah. Kalah di luluh badai.  Dan pepohonan meringis hendak lari.  Jagung dan padi rebah, patah di lurik layu. Alam ku murka.  Bocah-bocah diam memeluk lutut.  Berlindung di sudut gubuk. Dingin berbaur ketakutan.  Perempuan separuh baya nampak tegang ronanya.  Hujan kembali bertarung dengan badai.  Lelaki kuatnya tak kunjung pulang. 
Menyusuri jalan setapak yang becek dan licin. Sesekali jemari terkandas bebatuan.  Jalan pulang ku semakin payah.  
Badai hendak membanting ku ke belukar. Rumput jalanan menerpa, menjegal langkahku. Keringat mengguyur tubuh bersama dinginnya hujan badai.
"Semoga di rumah tetap baik-baik saja!" Keluh ku di sela napas kelelahan.
Mataku menatap paksa. Gunungku berselimut kabut dan hujan. Aku kwatir dan seram sekujur tubuh.  
Hutan di dada gunungku telah hancur.  Bencana banjir tidak mungkin tidak.  Kapan saja bisa melanda kampung dan gubuk ku. 
"Oh Tuhan, ampunilah kami!" Ungkap sesalku meski ianya terlambat.  Di dada gunung puluhan lubang menganga.  Di depan kampung, kubangan pasir bebatuan.  Dada gunung hancur tercabik tangan-tangan rakus. Kemarin Amdal jadi hakim. Hari ini Ambal(Aku mau balas) politik Balas budi.  "Keruk saja di mana kau suka, demi jasamu waktu Pikada. Karena jasamu menghantar kami ke kursi wakil rakyat."  Nurani ku menduga. 
Pohon dan ilalang gunung ku di rambah.  Penggundulan area resapan hujan. Menjamin kembalinya longsor dan banjir.  Hutan di atasnya jadi ladang. Mata air di bawahnya dialir menukik bukit.  Ibarat batang saluran kencing  dipaksa tegak ke atas, pancur ke wajah.  Proyek favorit para penggarong.  Bagi-bagi rasa manis dari peluh rakyatnya. Dan naskah-naskah penyelamat mengonggok di tandas. jilid-jilid aturan sekedar penghias ruang tamu. Carikan keputusan jadi pembersih limbah hajat lambung mereka. Terbuang dan tersadai di selokan becek, menambah busuk aroma kota.
Siapa pembela hutan ku..? Siapa pembela sungai ku..? Mereka lelap dan ngorok.  Terbuai mimpi akan fee dan sisa manis asinan di sendok oportunis. Mengharap modal pinjaman yang semata untuk semen, batu dan aspal.  Dengan demikian hutan, sungai dan perut rakyat, terhibur dengan puing-puing janji kemunafikan. 
Hai, Wakil rakyat ku.  Pelana kerbau sawah kian panas. Sang penunggang sedang merancang irama, ritme dan lirik pantunnya.  Bakal di bentangkan di punggung, yang dulunya penuh panau dan berdaki.  Dan kau masih doyan memeluk tahta itu.  Sulit kau relakan demi sembunyikan borokmu.  Mungkin tahta empuk itu bisa bercerita.  Sudah lima tahun, bau ketut mu kau cium sendiri. Dan rakyat yang empunya tahta, hanya menghirup bau nafasmu.  Engakau kwatir kawan..!

Langkah ku tertahan di terpa badai. Hujan semakin menjadi-jadi.  Dari kejauhan ku tatap gubuk ku yang pasrah dirajam badai.  Tuhan dan leluhur tanah ini masih sayang kami.  Karena hanya gubuk ini yang kami punya. Meski sudut dan pojok kian bocor berlubang. Kadang basah tungku dan onggokan kayu dapur ku. "Puji Tuhan. Anak-anak ku selamat!". Doa ku seiring langkah mendekap bocah- bocah ku.  Tangan dan dada yang dingin menggigil. Memeluk wanita ku yang trauma kebingungan.  Dalam diam. Hanya napas- napas kesyukuran menyapu kuping-kuping.  Dan hati ku damai. Kembali mengingat kisah.  Iyaa..politik itu harus dihidupi dan terus dijalani. Jika masih mencintai bangsa ini..  kata-kata bijak melintas sekejap.  Bathin ini, me-lipur diri.  Ahhh.. tradisi politik tanah ku. Politik balas budi..  cieeeee...! "Pantas, kau duduk mem-beo saja!"..hati ku bergurau. 
Bermusim telah berlalu. Musim inipun mau berakhir.  Sekian tahun tanah ini gelisah.  Menyesali hati dan jari yang menusuk potret wajah-wajah palsu.  Perempuan kampung berisik meledek. Mari nguping di Ebang-ebang tua.  Bercengkrama diteman siri pinang. "Hhhh..janjinya akan perjuangkan hak-hak rakyat.  Namun nyatanya jadi pejuang perut sendiri. Menjelang musim baru pulang tunjuk muka. Lebih pantas janda kampung yang duduk gantikan mereka." Perempuan kampung itu  berdebat sesama sendiri.  Ada yang berupaya membela pilihannya.  Memang benar di DPRD, tidak semuanya ibarat burung Beo. Tidak semuanya gugup menekan tombol mikrofon. Tidak semuanya keringat dingin kalau baca anggaran.  Namun satu atau dua orang yang tidak mampu bersuara maka rumah rakyat ibarat pasar barter di desa-desa.  Hati ku terenyuh. Perempuan-perempuan ini mungkin benar atau aku yang salah menduga maknanya. 
Riak banjir di selokan berbatu.  Lahan dan gurun bersimbah hujan. Humus dan liat pun ikut pergi. Karang tajam tumbuh di sepanjang setapak ladang ku. Kulit dan daging bumi, telah teriris banjir. Pergi berbaur dengan limbah amis dan asin di muara.  Negeri kecilku terus mengalami erosi. Lemak dan serat isinya digarong. Dan pak tani hanya bisa menyusun kotak-kotak batu di ladangnya. Menanti, akankah banjir esok hari, menitipkan humus lagi..? 

Lampu beranda android kian beragam warna.  Hendak tiba musimnya Fb dan You tube menuai limpah.  Potret-potret wajah seliweran, anggun dan tampan.  Berserakan di tong sampah memory android ku. Ada wajah baru tampan rupawan.  Banyak wajah lama dipoles bingkai-bunga.  Naluri petani ku berbisik perih.  "Kapan waktunya pejuang yang tulus dilahirkan?".   Sedangkan wajah-wajah di medsos ini, tetap saja kusam. Kelihatan anggun dan tampan hanya karena efek dari kamera..? 

Sekelompok ayam bersorak rancuh di sudut halaman gubuk ku. Mungkin unggas-unggas ini sedang menyindirku. Atau mungkin ada petanda alam..?  Ahhh..aku beranjak menelusuri rumpun jagung yang rebah berantakan akibat badai kemarin.  Hendak ku amati apa yang terjadi.  Mengapa kumpulan unggas itu berisik tegang..?
"Astaga !" mendadak aku dikejutkan oleh sang predator pemangsa.  Melata laju meliuk di sela-sela rerumputan.  Binatang tak berkaki itu telah merampas anak ayam ku.  Dari celah batang jagung, nampak buncit bagian perutnya.  "Waduuh, kemarin telur ayam dalam sarang sudah kau ludeskan.  Kali ini anak ayam harus terkorban lagi..!" 
Sebatang kayu kering, seukuran satu gengaman ku raih tangkas.  Kepala predator itu remuk seketika.  Kumpulan ayam ku berhambur lari dan terbang.  Sebentar saja kembali ku dengar sorakan unggas-unggas itu.  Rupanya secepat itu, para unggas kumpul kembali.  Namun kali ini, sorakan mereka tanda kegembiraan.  Ayam-ayam itu bersorak kegirangan karena musuh bebuyutan(ular predator) itu telah dihancurkan.

Iya..iya lah.  Unggas- unggas ukuran sedang itu, sedang disiapkan untuk menjamu tamu-tamu dan caleg, yang tak lama lagi akan bergentayangan mencari suara.
Namun hati kecilku berontak kecil. "Ahh..mereka juga predator sama seperti ular Piton yang ku remukan!" Memangsa dan memangsa, tanpa pandang bulu.  Rakyat dikorbankan sekian dekade.  Diam bisu di ruang rapat. Hanya bisa bermanja dengan Ketua.  Ngemis jatah Perjalanan Dinas, untuk dapat rejeki kejut.  Honor dan tunjangan belum cukup.  Pantas kau membatu di ruang rapat kawan.  Wibawa yang terhormat mu, kau gadai demi selembar SPPD.  Dan hasil akhirnya kian nyata.  Kau angguk saja, naskah rencana anggaran.  Biar honor guru tak layak. Biarlah hutan tadahan air dibabat. Biarlah terumbu dan ikan-ikan di bom. Biarkan pengusaha lokal mati oleh monopoli. Dan politik oligarki tumbuh subur. 
Cukup sudah...
Lihatlah di media sosial besok dan lusa.  Pandanglah wajah-wajah yang bertandang di ujung gang, tempat mangkal pemuda kampung. 
Predator bertangan dingin hendak berkeliaran.  Dan... Bersiaplah di mangsa oleh bibir dan mulut pembual.  
Kendati demikian kenyataannya, politik mesti harus dihidupi. Harus dilanjutkan.  Karena bangsa ini, hanya bisa diurus kalau kita berpolitik. 
Kuatkan hati. Cerahkan wawasan. Matahari memang tenggelam, namun tak pernah pergi.  Rembulan pun tak bisa datang, namun ia pasti terbit.
Nukilan : Eman Ubuq
Edisi : January 2023.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Senjayangberlari#

...DPRD Lembata, pesiar-pesiar menjelang akhir masa jabatan....